Nama Lengkap
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Qurtubi. Kunyah beliau adalah Abu Abdillah.
Nasab (garis keturunan) beliau bersambung kepada salah satu suku (kabilah) yang menempati kota Madinah tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hijrah ke sana yaitu kabilah Khajraj oleh karena itu beliau menisbatkan diri kepada Khajraj sehingga disebut Al-Khajraji, begitu pula halnya beliau dinisbatkan kepada Anshar (sehingga dikatakan Al-Anshari) yang merupakan nama untuk menyebut penduduk Madinah yang menjadi penolong Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tatkala hijrah ke sana.
Adapun Al-Qurtubi nisabat kepada tanah kelahiran beliau yaitu salah satu kota di negeri Andalusia (Spanyol) yang bernama Cordoba (dalam bahasa arab disebut : قرطبة), di mana dahulunya merupakan wilayah kekuasaan Islam yang ramai dengan penuntut ilmu dan melahirkan banyak ulama-ulama mumpuni termasuk Imam Al-Qurtubi rahimahullah.
Kelahiran dan Masa Awal Menuntut Ilmu
Imam Al-Qurtubi dilahirkan di kota Cordoba Andalusia (Spanyol). Adapun tahun kelahiran beliau, maka tidak diketahui secara pasti, karena di antara kebiasaan para sejarawan terdahulu yang lebih mengedepankan data tahun wafatnya para ulama dibandingkan mengetengahkan tahun kelahiran mereka, [1] beliau diasuh dan dibesarkan oleh ayah beliau hingga sang ayah meninggal tahun 627H.
Keluarga beliau termasuk keluarga dengan penghidupan sederhana sebagai petani gandum sebagaimana ditunjukkan oleh apa yang beliau sebut sendiri dalam kitab tafsir beliau “Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran”: Apabila musuh menyerang kaum muslimin yang sedang berada di rumah-rumah tempat kediaman mereka dan mereka tidak tahu sama sekali dengan adanya musuh yang menyerang, apakah kaum muslimin yang meninggal akibat ulah penyerbuan musuh tadi diperlakukan seperti orang yang mati di meda perang (tidak dimandikan, tidak dikafani) atau mereka dianggap jenazah biasa? Ini terjadi di negeri saya Cordoba, pada bulan Ramadhan tahun 627H, saat itu musuh tiba-tiba menyerang daerah kami dan termasuk yang terbunuh kala itu adalah ayah saya yang sedang berada di lumbung tempat penyimpanan gandumnya, maka saya bertanya kepada guru-guru saya apakah jenazah ayah saya dimandikan dan dikafani atau tidak …” [2]
Beliau lahir dan tumbuh dewasa dalam menuntut ilmu di negeri Andalusia (Spanyol) sembari membantu ekonomi keluarga dengan mengangkut tanah liat yang dipakai untuk membuat gerabah, beliau mengatakan:”Di masa muda saya dan beberapa teman mengangkut tanah dengan memakai hewan sebagai kendaraan dari sebuah daerah dekat kubur yang disebut dengan maqbaratul yahud (kubur orang Yahudi) di pinggiran Cordova, kadang tanah itu telah bercampur dengan tulang-belulang, rambut-rambut orang yang dikubur di sana, kami membawa tanah itu kepada orang yang membuat gerabah.” [3] Gambaran lengkap perjalanan beliau menuntut ilmu di Andalusia tidak tercatat dengan detail dalam kitab-kitab sejarah, namun beberapa kejadian dan peristiwa yang beliau tuliskan dalam beberapa kitab-kitab karya beliau memberi gambaran ringkas tentang guru-guru yang beliau datangi saat menimba ilmu di masa-masa awal perjalanan panjang beliau dalam mencari ilmu, di antaranya kejadian yang beliau ceritakan dalam kitab tafsir beliau adalah mengenai penyerbuan yang dilakukan oleh musuh ke kampung halaman beliau yang mengakibatkan terbunuhnya banyak penduduk termasuk ayahanda beliau tahun 627H, lantas beliau datang kepada guru-guru beliau saat itu guna menanyakan perihal ayahanda beliau yang wafat, apakah jenazahnya diurus seperti orang yang mati syahid di medan tempur atau dianggap seperti jenazah biasa, beliau datang kepada guru beliau Ibnu Abi Hajjah yang memberitahu beliau agar sang ayah diperlakukan seperti jenazah biasa karena menurut sang guru sang ayah dianggap tidak meninggal di medan tempur, beliau lantas bertanya lagi kepada syaikh beliau yang lain yaitu Rabi’ bin Abdurrahman bin Ubay yang menyarankan beliau agar mengurus jenazah sang ayah layaknya seorang yang mati syahid di medan jihad fi sabilillah, kemudian beliau datang kepada syaikh beliau yang lain yaitu Qadil Jama’ah Ali bin Qutrul yang menyarankan beliau agar mengurus jenazah sang ayah sebagaimana jenazah biasa. [2] Masa menuntut ilmu beliau di Spanyol harus berakhir dengan jatuhnya Spanyol ke tangan tentara salib, beliau keluar dari Spanyol tepatnya Cordoba saat seluruh wilayah Spanyol yang dikuasai kaum muslimin jatuh ke tangan tentara salib tahun 733H, ketika itu umur Imam Al-Qurtubi telah menginjak usia 25 tahun tatkala beliau hijrah ke Mesir dan melajutkan perjalanan menuntut ilmu beliau di sana.
Jatuhnya Spanyol dan Kesedihan Mendalam Beliau
Saat itu Andalusia di bawah pemerintahan daulatul muwahhidin, di awal pemerintahan daulatul muwahhidin di Andalusia Islam disegani oleh kerajaan-kerajaan nasrani di seluruh Eropa, penyerbuan demi penyerbuan yang dilakukan tentara salib terhadap berbagai wilayah kekuasaan Islam mengalami kegagalan, bahkan tentara Islam semakin kuat dengan ditaklukkannya sedikit demi sedikit wilayah Eropa oleh tentara daulatul muwahhidin, salah satu peperangan paling bersejarah antara pasukan Islam dengan tentara salib adalah perang Al-Arak (Al-Arak adalah nama sebuah benteng yang terletak di pinggiran Cordoba), tentara salib mengalami kekalahan fatal dengan jatuhnya benteng-benteng mereka di tangan kaum muslimin dan jatuhnya banyak korban di kalangan tentara salib itu. [4] [5]
Di tengah kejayaan Islam di masa daulatul muwahhidin ini, ramailah Cordoba sebagai ibu kota negara saat itu dengan para penuntut ilmu, lahirlah para ulama-ulama besar semisal Al-Qurtubi dan ulama lainnya di masa itu, hingga disebutkan bahwa :
إنه إذا مات عالمٌ بإِشْبِيلِيَة فأُريدَ بيعُ كتبه، حملت إلى قرطبة حتى تباع فيها
“Jika ada ulama di Sevilla yang wafat, lalu kitab-kitab peninggalannya mau dijual maka ia akan dibawa ke Cordoba maka akan terjual di sana.” [6]
Di sudut-sudut kota, orang-orang Andalusia membangun sekolah-sekolah, perpustakaan-perpustakaan, mendirikan universitas-universitas di kota-kota yang ratusan tahun menjadi daerah yang didatangi untuk menimba ilmu di seantro Eropa ketika itu. Hingga Cordova selama 3 abad menjadi kota paling bercahaya dengan ilmu pengetahuan, bahkan peradaban-peradaban yang dibangun, istana-istana para penguasa laksana majlis-majlis ilmu karena perhatian para penguasa saat itu kepada ilmu dan ulama. Kota Cordova menjadi ibu kota kerajaan Islam ketika itu, bahkan menjadi pusat kota yang semerbak dengan ilmu pengetahuan, semarak dengan berbagai kegiatan produksi dan perdagangan, terdiri atas ribuan kampung-kampung, di setiap kampung selalu ada seorang faqiih (ulama fiqih) yang menjadi rujukan.” [7]
Banyak sekolah dan universitas dibangun di masa pemerintahan daulatul muwahhidin di Andalusia, di Cordova saja saat itu terdapat berbagai bangunan-bangunan yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban yang banyak didatangi oleh para penuntut ilmu dari berbagai negara. [8]
Bahkan di zaman raja Al-Hakam Ats-Tsani (350-366H) dia memiliki perpusatakaan yang memuat 200 ribu jilid kitab dalam berbagai disiplin ilmu, karena raja-raja daulatul muwahhidin cinta trhadap ilmu pengetahuan, dikatakan oleh az-Dzahabi : “(Raja Al-Hakam) membelanjakan banyak emas demi membeli kitab-kitab ulama, dan memberikan uang yang banyak bagi mereka yang berjuAl-beli kitab-kitab itu, hingga perpusatakaan yang luas itu sempit dengan berbagai kitab-kitab ulama.” [9] Di Cordoba saja didirikan 27 sekolah, pendidikan semuanya gratis baik bagi yang kaya apalagi miskin, [10] sehingga dikatakan bahwa di saat setiap orang di Andalusia mengenyam pendidikan yang layak dan gratis ketika itu, sementara negeri-negeri Eropa kala itu tengah hanyut dalam gelepnya kebodohan dan keterbelakangan. [11]
Pada periode berikutnya pemerintahan Islam di Andalusia mengalami kemunduran dan kelemahan, ketika kaum muslimin menjauh dari persatuan, terlena dengan kelezatan dan kenikmatan dunia yang fana ini, lalu kerajaan-kerajan nasrani melancarkan berbagai tipu daya untuk menyapu kaum muslimin dari negeri Spanyol dan merekapun menyatukan pasukan mereka untuk mengusir kaum muslimin yang ketika itu terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil nan lemah, setiap karajaan-kerajaan kecil itu berbangga dengan kerajaan masing-masing, hingga disebutkan oleh seorang penyair menggambarkan kondisi saat itu:
مِمَّا يزهِّدنِيْ فِيْ أَرْضِ أنْدَ لس ألقاب معتضدٍ فيها ومعتمد
ألقاب مملكةٍ في غير موضعها كَالْهِرِّ يحكي انْتِفاخا صولة الأسد
Di antara hal yang membuat saya meremehkan negeri Andalusia *** gelar-gelar mu’tadhid dan mu’tamid
Gelar raja (yang mentereng) namun bukan pada tempatnya *** laksana kucing kecil yang meniru auman singa
Keadaan Andalusia itu diperparah lagi dengan sikap sebagian kaum muslimin yang justru berdiri membela kepentingan musuh demi mempertahankan kekuasaan mereka karena bersaing dengan kerajaan muslim yang lain.
Satu persatu kota-kota yang dahulunya ramai dengan syi’ar Islam jatuh ke tangan tentara salib Eropa, Granada hingga Cordoba takluk di bawah bendera tentara salib, itu semua disaksikan secara langsung oleh Sang Imam, hal yang membuatnya mengalami kesedihan, penyesalan dan kekecewaan yang mendalam, tak heran jika di dalam banyak karya-karya beliau terdapat ungkapan-ungkapan serta kritik tajam terhadap kaum muslimin ketika itu yang tak mampu membendung kekuataan musuh yang menerkam kekuasaan Islam di Andalusia yang mengakibatkan banyak kaum muslimin yang terbunuh dan wilayah-wilayah yang dahulunya menjadi kekuasaan Islam disapu bersih oleh musuh-musuh yang ganas itu.
Beliau mengatakan: “Musuh datang ke negeri-negeri kita, mereka menguasai kita dan harta benda kita, bersamaan dengan fitnah yang sedang melanda kita yaitu kita saling bunuh satu sama lain, saling mengambil harta satu sama lain, kita berlindung kepada Allah dari segala macam fitnah baik yang nampak maupun tidak nampak.” [12]
Di tempat yang lain beliau mengatakan: “Karena kebodohan kita dan karena mengedepankan kepuasan syahwat, musuh-musuh terlaknat itu mengalahkan kita, kitapun jadi lebih rendah dari kasur dan lebih hina dari serangga, la haula wala quwwata illa billah.” [13]
Beliau mengatakan tatkala menafsirkan firman Allah:
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ
“Betapa banyak kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah.” [14]
“Ayat ini berisi anjuran untuk bejihad di jalan Allah, menanamkan kesabaran dan anjuran mencontoh orang-orang yang membenarkan Rabb mereka. Begitulah yang seharusnya kita lakukan, akan tetapi karena perbuatan-perbuatan jelek, niat yang rusak yang menghalangi kita melakukannya, sampai jumlah pasukan besar kita kalah di hadapan pasukan musuh yang sedikit sebagaimana yang sering kita saksikan, semua ini akibat ulah kita sendiri.” [15]
Pada tempat yang lain beliau juga mengatakan: “…Maka bagaimana dengan saat ini, darah-darah sesama muslim ditumpahkan karena hawa nafsu, karena memperebutkan kekuasaan, karena mencari kenikmatan dunia. Sehingga wajib bagi setiap manusia menahan tangan dan lisannya ketika fitnah itu muncul, ketika ujian dan cobaan itu turun, kita memohon keselamatan kepada Allah dan semoga memasukkan kita ke surga-Nya.” [16]
Hijrah ke Negeri Mesir
Di akhir-akhir abad ke-9, hampir seluruh wilayah Andalusia telah jatuh ke tangan tentara salib, dan dengan jatuhnya kota Ganada ke tangan tentara salib saat itu maka sapu bersih tentara salib terhadap seluruh wilayah Islam d Andalusia telah berhasil dengan gemilang.
Kaum musliminpun berbondong-bondong hijrah ke wilayah-wilayah terdekat termasuk ke Mesir, di antara mereka yang berhijrah itu adalah para ulama-ulama yang dengan hati sedih bercampur penyesalan harus meninggalkan Andalusia yang ratusan tahun berada di pangkuan Islam dan kaum msulimin, Imam Al-Qurtubi termasuk dari sekian ulama yang memilih Mesir sebagai tempat hijrah pasca lepasnya Andalusia ke tangan Nasrani, berikut beberapa daerah dan kota di Mesir yang sempat disinggahi oleh Imam Al-Qurtubi guna menimba ilmu kepada para ulama Mesir:
Iskandaria
Imam Al-Qurtubi sempat tinggal di Iskandaria menimba ilmu dari para ulama-ulam di daerah ini semisal Abul Abbas Al-Qurtubi, Abu Muhammad ibn Rawaj dan Abu Muhammad Abdulmu’ti Al-Lakhmi, di sebagian kitab karya Al-Qurtubi beliau secara jelas menyebutkan tempat beliau belajar kepada Syaikh beliau yang terakhir disebut (Abu Muhammad Abdulmu’ti Al-Lakhmi): “Saya dikabarkan (riwayat ini) oleh beliau di pinggiran Iskandaria…” [17]
Fayyum
Di antara daerah yang dikunjungi oleh Imam Al-Qurtubi adalah daerah Fayyum di Mesir, beliau pergi menimba ilmu kepada ulama Fayyum bersama Al-Qarafi sebagaimana disebut As-Safadi dalam Al-Wafi bil Wafayat : “Al-Qurtubi Al-Mufassir pergi bersama Syaikh Syihabuddin Al-Qarafi ke negeri Fayyum (untuk menuntut ilmu), sedangkan mereka berdua adalah ahli di bidangnya masing-masing.” [18]
Manshurah
Pada tahun 647H Imam Al-Qurtubi sempat mendatangi Manshurah untuk berguru kepada Abu Ali Hasan bin Muhammad Al-Bakri, beliau (Imam Al-Qurtubi) mengatakan : “Syaikh Imam Al-Hafidz Al-Musnid Abu Ali Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Amruk Al-Bakri At-Taimi salah seorang anak cucunya Abu Bakr radiallahu anhu mengabari saya dengan sanad aali (tinggi) dengan cara membaca di daerah Manshurah Mesir pada hari Jumat tanggal 13 bulan Rajab tahun 647H.” [19]
Kairo
Tidak diragukan lagi bahwa Imam Al-Qurtubi datang ke Kairo untuk menimba ilmu karena saat itu Kairo merupakan kota paling ramai dan merupakan ibu kota negeri Mesir yang tentu ramai dengan para ulama, dan sebagaimana disebutkan dalam buku sejarah bahwa Imam Al-Qurtubi setelah berkeliling menimba ilmu di berbagai daerah Mesir beliau akhirnya menetap dan berdomisili di daerah Alminya yang merupakan sebuah kota kecil di Mesir, sedangkan untuk mencapai daerah Alminya ini harus melewati daerah Kairo terlebih dahulu, jadi sangat besar kemungkinan Imam Al-Qurtubi singgah dan sempat belajar dan menuntut ilmu di kota Kairo.
Alminya
Sebuah kota yang berada di dataran tinggi Mesir di dekat sungai Nil disebut juga dengan nama Minyah Bani Khashib, di kota inilah Imam Al-Qurtubi menghabiskan umur beliau, As-Safadi mengatakan: “Beliau (Imam Al-Qurtubi) meninggal dunia di Minyah Bani Khasib daerah dataran tinggi Mesir.” [20] Al-Marakisyi mengatakan: “Beliu berdomisili di Minyah Bani Khasib sebuah daerah di Mesir.” [21]
Sebagian besar karya-karya tulis beliau disusun di kota ini, disebutkan oleh para sejarawan bahwa di antara hal yang menyebabkan beliau lebih memilih Alminya sebagai daerah tempat tinggal beliau adalah keberadaan sang guru beliau yang tinggal di daerah ini yaitu Ibnul Jummaizi (wafat tahun 649H), Imam Al-Qurtubi ingin lebih dekat dengan sang guru untuk menimba ilmu dari beliau, dalam karya-karya Al-Qurtubi termaktub bahwa beliau banyak mengambil riwayat dari guru beliau Al-Jummaizi ini, Al-Qurtubi mengatakan: “Kami dikabari oleh As-Syaikh Al-Faqiih Al-Imam Muftil Anaam Abul Hasan Ali bin Hibatullah As-Syafii di daerah Minyah Bani Khasib di pinggiran sungai Nil…” [22] Sebab lain yang juga menjadi faktor utama menetapnya Al-Qurtubi di Alminya sebagaimana disebutkan oleh para ulama adalah kondisi penduduk daerah tersebut yang sederhana dan zuhud sehingga cocok bagi beliau yang sedang ditimpa kesedihan mendalam pasca jatuhnya seluruh wilayah Andalusia ke tangan pasukan salib, beliau ingin fokus beribadah dan menyusun kitab-kitab beliau dan tempat inilah yang paling cocok menurut beliau.
Guru-guru Beliau
Para syaikh yang banyak berjasa mengajarkan Imam Al-Qurtubi bisa dibagi menjadi dua bagian:
Guru Beliau di Andalusia
Ibnu Abi Hajjah, beliau adalah Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Qaisi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Hajjah, salah seorang ulama yang dijadikan rujukan oleh penduduk Cordoba, tatkala Cordoba takluk ke tangan tentara salib beliau ditangkap oleh tentara musuh di lautan sehingga beliau disiksa dan meninggal dunia, Al-Qurtubi banyak mengambil faidah dari beliau termasuk mengambil Qira’ah Sab’ah dari beliau. Di antara karya-karya Ibnu Abi Hajjah adalah Tasdid Al-Lisaan li Dzikri Anwa’il Bayan, Tafhim Al-Qulub Ayaat Allamil Guyub dan Mukhtashar At-Tabshirah fil Qira’at.
Ibnu Ubay, beliau adalah Rabi’ bin Ahmad bin Rabi’ Al-Asywi, salah seorang ulama Cordoba dan qadhinya, meninggalkan Cordoba setelah jatuh ke tentara salib lalu pindah ke Sevilla dan meninggal dunia di sana.
Ibnu Qatral, beliau adalah Al-Qadhi Abul Hasan bin Qatral, lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Qatral, seorang ulama fiqih mazhab maliki.
Guru-guru Beliau di Mesir
Abul Abbas Al-Qurtubi, beliau adalah Ahmad bin Umar bin Ibrahim bin Umar Al-Anshari Al-Qurtubi, lahir di Cordoba namun diajak hijrah oleh bapak beliau saat masih kecil, lama menuntut ilmu di Makkah dan Madinah, berdomisili di Iskandaria Mesir dan mengajar di sana, ahli fiqih dan terdepan dalam ilmu hadits, di antara buah karya beliau adalah kitab Al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Kitab Muslim, beliau sering disebut oleh Imam Al-Qurtubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an.
Abu Muhammad Abdulwahab bin Rawaj, seorang ahli hadits dan ahli fiqih, As-Suyuti mengatakan: “Banyak penuntut ilmu yang menimba ilmu dari beliau, termasuk di antaranya adalah Abu Abdillah Al-Qurtubi.” [23]
Ibnul Jummaizi, beliau adalah Abul Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al-Lakhmi yang lebih dikenal dengan nama Ibnul Jummaizi, hafal Al-Quran ketika umur beliau 10 tahun, salah seorang imam dalam ilmu qira’at, nahwu, fiqih dan hadits, meninggal tahun 649H.
Al-Hasan Al-Bakri, beliau adalah Abu Ali Hasan bin Muhammad bin Amruk Al-Qurasyi Al-Bakri, beliau menuntut ilmu kepada ulama Makkah dan Damaskus, lalu beliau berpindah ke Mesir dan meninggal di sana pada tahun 656H.
Karya-karya Imam Al-Qurtubi
Imam Al-Qurtubi meninggalkan banyak karya tulis bermanfaat yang banyak diambil faidah dan manfaatnya oleh kaum muslimin hingga saat, banyak karya-karya beliau yang sudah berhasil dicetak dan mengisi perpusatakaan-perpustakaan kaum muslim, namun ada juga karya tulis beliau yang raib dihanguskan oleh keganasan tentara musuh saat menyerang Andalusia atau ada juga karya-karya beliau masih menunggu tangan-tangan terampil yang siap membawanya ke meja percetakan.
Kitab Beliau yang Sudah Dicetak
Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran wal Mubayyin lima Tadammanahu min Ayil Furqan, kitab ini merupakan karya paling fenomenal dari Imam Al-Qurtubi, termasuk kita tafsir yang banyak menjadi rujukan para ulama terdahulu maupunsekarang, Ibnul Imad mengatakan tentang kitab ini: “Kitab tafsir ini dipenuhi dengan semua madzhab salaf dan faidahnya sangat banyak.” [24] Ibnu Syakir Al-Katbi mengatakan: “Imam Al-Qurtubi memiliki karya-karya yang bermanfaat yang menunjukkan atas ilmunya yang luas, di antaranya adalah tafsir Al-Qurannya, sangat istimewa terdiri atas 12 jilid.” [25]
Al-Qurtubi menyebutkan alasan beliau menyusun kitab tafsir beliau seraya mengatakan: “Saya menyusun kitab tafsir ini sebagai pengingat bagi diri saya, sebagai bekal bagi saya di alam kubur dan sebagai amal salih saya setelah saya meninggal.” [26]
Kitab tafsir karya Al-Qurtubi ini lantas menjadi rujukan bagi penyusun kitab-kitab tafsir yang datang setelah beliau, seperti halnya kitab tafsir karya As-Syaukani (Fathul Qadir) dan kitab tafsir karya Ibnu Katsir banyak mengutip dan merujuk pada kitab tafsir karya Al-Qurtubi ini.
Dan di antara ciri khas tafsir karya Al-Qurtubi ini adalah bahwa sang imam banyak mengaitkan ayat-ayat Al-Quran dengan kondisi dan keadaan sosial masayarakat di zaman beliau sebagaimana dipaparkan pada pembahasan sebelumnya tentang nasihat dan kritikan Imam Al-Qurtubi atas peran para penguasa terhadap jatuhnya Andalusia pada tangan tentara salib dan kandungan kitab tafsir beliau ini akan bantahan-bantahan ilmiyah terhadap berbagai firqah (kelompok) sesat yang ada di zaman beliau. [27]
At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah, Syaikh Muhammad Makhluf berkata tentang kitab ini: “Terdiri atas 2 jilid, terkait tentang pembahasan kematian dan perkara akhirat, kitab ini tak ada tandingannya.” [28] Kitab ini sempat diringkas oleh beberapa ulama di antaranya oleh Ahmad bin Muhammad As-Suhaimi Al-Azhari yang diberi judul At-Tadzkirah Al-Faakhirah fi Ahwal Al-Akhirah, sebelumnya Syaikh As-Sya’rani juga sempat meringkas kitab ini.
At-Tidzkar fi Fadhlil Adzkar, Imam Al-Qurtubi menyebutkan di awal kitab mengenai isi dan bahasan kitab beliau ini: “Kitab ini berisi tentang dalil yang menyebutkan tentang keutamaan Al-Quran, keutamaan orang yang membacanya, pendengarnya dan juga orang yang mengamalkan isi kandungannya, berisi juga tentang kehormatan Al-Quran, bagaimana cara membacanya dan tentang menangis tatkala membacanya serta keutamaan orang yang membacanya dengan benar dan celaan bagi orang yang membacanya dengan riya’ dan ujub dan hAl-hal lain yang dikandung oleh kitab ini.” [29] Ibnu Farhun membandingkannya dengan kitab sejenis yang dikarang oleh Imam An-Nawawi (At-Tibyan fi Adab Hamalatil Quran) lalu beliau mengatakan: “Akan tetapi kitab At-Tidzkar ini jauh lebih lengkap dari At-Tibyan dan lebih banyak ilmunya.” [30]
Qam’ul Hirshi biz Zuhdi wal Qana’ah wa Raddi Dzullis Su’al bil Kasbi was Sina’ah, Imam Al-Qurtubi sering menyebut kitab beliau ini di dalam kitab tafsir beliau, di antaranya tatkala menfasirkan firman Allah:
واسألوا الله من فضله
“Mintalah karunia itu kepada-Nya.” [31]
Beliau mengatakan: “Kami telah menjelaskan secara panjang lebar tentang hal ini dalam kitab kami “Qam’ul Hirshi biz Zuhdi wal Qana’ah.” [32] Kitab ini juga dipuji oleh Ibnu Farhun yang mengatakan: “Saya belum menemukan kitab yang disusun sebagus ini dalam tema tentang zuhud dan qana’ah.” [33]
Al-I’lam bima fi Dinin Nashara minal Mafasid wal Auham wa Izhaar Mahasinil Islam, bersisi tentang bantahan beliau terhadap salah seorang nasrani yang membuat syubhat tentang Islam dalam tulisannya yang berjudul Tatslitsul Wahdaniyyah, di dalamnya juga Imam Al-Qurtubi banyak memaparkan tentang borok-borok serta kelemahan agama nasrani.
Kitab Beliau yang Masih Berbentuk Manuskrip dan yang Hilang
Al-Asna fi Syarhil Ama’il Husna, Imam Al-Qurtubi kerap menyebutnya dalam kitab tafsir beliau dan juga dalam kitab-kitab beliau yang lain.
Al-I’lam fi Ma’rifati Maulidil Mustafa Alaihis Salatu Wassalam
Al-Intihaz fi Qira’ati Ahlil Kufah wal Bashrah was Syam wa Ahlil Hijaz
Urjuzah, berisis nama-nama Nabi shallallahu alaihi wasallam dan penjelasan maknanya.
Manhajul Ibad wa Mahajjatus Salikin waz Zuhhad
Al-Muqtabas fi Syarhi Muwatta’ Malik bin Anas
Syarhut Taqassi
Al-Luma’ Al-Lu’luiyyah fi Syarhil Isyrinaat An-Nabawiyyah
Dan lain-lain. [34]
Murid-murid Beliau
Hampir tidak ditemukan kitab sejarah yang menyebutkan murid-murid atau orang-orang yang pernah berguru kepada Imam Al-Qurtubi, hal ini tidak lepas dari kondisi beliau yang masih dirundung kesedihan pasca keluar dari Andalusia dengan hati kecewa dengan jatuhnya seluruh wilayah Andalusia ke tangan tentara salib, hal yang membuat beliau lebih memilih untuk fokus beribadah dan menyelesaikan kitab-kitab yang sedang beliau susun, walaupun demikian melalui penelitian yang mendalam terdapat beberapa orang yang bisa disebut sebagai murid Imam Al-Qurtubi sebagai berikut:
Syihabuddin Ahmad bin Imam Al-Qurtubi, dikatakan oleh As-Suyuti: “Di antara orang yang meriwayatkan dari beliau (Al-Qurtubi) adalah putera beliau Syihabuddin Ahmad.” [35]
Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Zubair As-Tsaqafi Al-Ashimi Al-Gharnati
Ismail bin Muhammad Al-Khurastani, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Ismail Al-Khurastani pernah berguru kepada Al-Qurtubi. [36]
Wafat Beliau
Imam Al-Qurtubi wafat tahun 671H di Minyah Banil Khashib Mesir setelah menghabiskan umur beliau dalam ibadah, menuntut ilmu dan menyusun karya-karya tulsi beliau, semoga Allah merahmati beliau dan seluruh ulama ahlussunnah.
Pujian Ulama Terhadap Beliau
Ibnu Farhun berkata tentang beliau: “Salah seorang hamba Allah yang shalih, ulama yang wara’ dan zuhud terhadap dunia, disibukkan dengan amal ibadah yang menjadi bekal di akhirat, waktu beliau dihabiskan dalam ibadah dan menyusun karya tulis.” [37]
Ibnu Syakir Al-Katbi memuji keluasan ilmu Imam Al-Qurtubi seraya mengatakan: “Seorang syaikh yang mulia, memiliki karya-karya tulis yang bemanfaat yang menunjukkan keluasan ilmunya.” [38]
As-Safadi mengatakan tentang beliau: “Imam yang menguasai banyak disiplin ilmu, memiliki keluasan ilmu.” [39]
Ibnul Imad mengatakan: “Al-Qurtubi adalah seorang imam, memiliki pemahan yang dalam terhadap makna hadits, memiliki kitab-kitab karangan yang bagus dan sangat istimewa dalam mengutip ucapan ulama.” [40]
Al-Marakisyi mengatakan: “Seorang ulama yang menguasai ilmu hadits dan sangat paham dengan periwayatannya.” [41]
____
Referensi
Al-Imam Al-Qurtubi Syaikh A’immah At-Tafsir, Syaikh Masyhur Hasan Salman, hlm. 14. ⤴Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Imam Al-Qurtubi, 4/272. ⤴ ⤴At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah, Imam Al-Qurtubi, hlm. 38-39. ⤴Tarikh Al-Andalus fi Ahdil Murabithin wal Muwahhidin, Yusuf Asbakh, 332-337. ⤴Al-Mujmal fi Tarikh Al-Andalus, Abdul Hamid Al-Ibadi, 184. Qissatul Arab fi Asbania, Ali Al-Jazim, 177. ⤴Nafhut Thiib, Al-Muqri, 2/10. ⤴Al-Islam wa Al-Hadharah Al-Arabiyyah, Muhammad Kurd Ali, 1/256, 260-263. ⤴Al-Adab Al-Andalusi, Jaudat Ar-Rikabi, hlm. 57. ⤴Siar A’lam An-Nubala’, 16/230. ⤴Al-Bidayah wa An-Nihayah, 11/285. ⤴Imam Al-Qurtubi Syaikh A’immah Al-Tafsiir, Masyhur Hasan Salman, hlm. 35. ⤴Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Al-Qurtubi, 7/9-10. ⤴Ibid, 3/39. ⤴QS. Al-Baqarah : 249. ⤴Al-Jami li Ahkam Al-Quran, 3/255. ⤴At-Tadzkirah fi Ahwalil Mauta wad Daril Akhirah, Al-Qurtubi, hlm. 648. ⤴At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Ad-Dar Al-Akhirah, Al-Qurtubi, 138, 589. ⤴Al-Wafi bil Wafayaat, Shalahuddin Khalil As-Safadi, 2/122-123. ⤴At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Ad-Dar Al-Akhirah, Al-Qurtubi, hlm. 44. ⤴Al-Wafi bil Wafayat, As-Safadi, 2/122. ⤴az-Dzail wa As-Silah, 5/585. ⤴At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Ad-Dar Al-Akhirah, Al-Qurtubi, hlm. 138. ⤴Tabaqaat Al-Mufassirin, 39. ⤴Syadzaraat az-Dzahab, 5/335. ⤴Uyun At-Tawarikh, 21/27. ⤴Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, 1/3. ⤴Al-Imam Al-Qurtubi Syaikh A’immah At-Tafsir, Syaikh Masyhur Salman, hlm. 112-124. ⤴Syajarah An-Nur Az-Zakiyyah, hlm. 197. ⤴At-Tidzkar, Al-Qurtubi, hlm.2. ⤴Ad-Diibaj Al-Mudzhab, hlm. 317. ⤴QS. An-Nisa : 32. ⤴Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, 5/165. ⤴Ad-Dibaaj Al-Mudzhab, hlm.317. ⤴Imam Al-Qurtubi Syaikh A’immatit Tafsir, Masyhur Hasan Salman, hlm. 97-152. ⤴Tabaqaat Al-Mufassirin, 79. ⤴Ad-Durar Al-Kaminah, 1/379. ⤴Ad-Dibaj Al-Mudzhab, hlm. 671. ⤴Uyun At-Tarikh, 21/27. ⤴Al-Wafi bil Wafayaat, 2/122. ⤴Syadzaraat az-Dzahab, 5/335. ⤴az-Dzail wa As-Silah, 5/585. ⤴
Sumber: https://wikimuslim.or.id/