Type Here to Get Search Results !

 


BIOGRAFI IBNU JARIR ATH-THABARI

Ath-Thabari (bahasa Arab: الطبري‎, 838 M / 224 H- 923 M / 310 H) adalah seorang sejarawan dan pemikir muslim dari Persia, lahir di daerah Amol atau Amuli, Thabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia).[2] Nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari, lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau ath-Thabari. Semasa hidupnya, ia belajar di kota Ray, Baghdad, kemudian Syam dan juga di Mesir. Para ahli sejarah mencatat bahwa beliau semasa hidupnya tidak pernah menikah.[2]

Ath-Thabari adalah cendekiawan yang suka berkelana. Banyak kota-kota yang beliau singgahi salah satunya yaitu Baghdad. Di Bagdad beliau mengambil Mazhab Syafi'i dari Hasan Za'farani, kemudian Basra, Di sini ia belajar dengan Abu Abdullah as-Shan’ani. Di Kufah ia belajar dengan Tsa'lab.[2]

Di antara karyanya yang terkenal adalah Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan Raja),[3] atau lebih dikenal sebagai Tarikh ath-Thabari. Karya beliau ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi 40 jilid, berjudul The History of al-Tabari. Kitab ini berisi sejarah dunia hingga tahun 915, dan terkenal karena keakuratannya dalam menuliskan sejarah Arab dan Muslim.

Karya lainnya yang juga terkenal berupa Tafsir Quran bernama Tafsir ath-Thabari, yang sering digunakan sebagai sumber oleh pemikir muslim lainnya, seperti Al-Baghawi, as-Suyuthi dan juga Ibnu Katsir.

Sumber Pertama

Ibnu Jarir Ath Thobari: Ambisi Besar Saat Ini Telah Anti

Ibnu Jarir Ath Thobari (Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kholid Ath Thobari) adalah ulama besar yang bisa jadi teladan dalam semangat untuk kita. Beliau adalah pemilik kitab tafsir yang berjilid-jilid. Sampai disebutkan totalnya berjumlah 3000 lembaran ketika beliau menulisnya, itu pun dikatakan sebagai ringkasan. Beliau juga memiliki kitab tarikh (sejarah) yang begitu masyhur. Beliau adalah imam dalam berbagai bidang ilmu seperti tafsir, hadits, fikih, dan tarikh. Kisah beliau berikut menunjukkan bagaimana beliau memiliki semangat yang tinggi dalam menulis, mengkaji Islam dan membuat karya besar. Semangat beliau ini sulit kita temukan pada zaman-zaman kita ini.

Al Khotib Al Baghdadi dalam kitab tarikhnya berkata, “Aku pernah mendengar ‘Ali bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdul Ghoffar Al Lughowi (lebih terkenal dengan sebutan As Samsamani), ia menceritakan bahwa Muhammad bin Jarir Ath Thobari pernah menetap selama 40 tahun dan menulis setiap harinya 40 halaman.

Dan telah sampai kisah kepadaku dari Abu Hamid Ahmad bin Abi Thohir Al Faqih Al Isfaroini, ia bekata, “Seandainya seseorang bersafar ke China lantas ia menemukan kitab tafsir karya Ibnu Jarir, maka ia akan temukan tidak begitu banyak (dari kenyataan, pen).” Atau beliau mengucapkan perkataan semakna dengan itu.

Al Qodhi Abu ‘Abdillah Muhammad, ia berkata bahwa ‘Ali bin Ahmad Ash Shona’ Ubaidullah bin Ahmad As Samsar dan ayahku berkata bahwa Abu Ja’far Ath Thobari pernah berkata pada murid-muridnya, “Apakah kalian punya semangat untuk menulis tafsir Al Qur’an?” “Berapa lembar yang mau ditulis?”, tanya murid-muridnya. Jawab Ath Thobari, “Tiga puluh ribu (30.000) lembar.”  Mereka malah menjawab,

هذا مما تفنى الاعمار

“Menulis seperti itu malah menghabiskan umur kami.” Akhirnya kitab tersebut selesai dan lebih diringkas yang akhirnya menjadi sekitar 3000 lembaran.

Ath Thobari berkata lagi pada murid-muridnya, “Apakah kalian punya semangat untuk menulis kitab tarikh (sejarah) alam semesta mulai dari Adam hinggga saat ini?” “Berapa lembar yang mau ditulis?”, tanya murid-muridnya. Ath Thobari menyebut sebagaimana kitab tafsir tadi, lalu mereka pun menjawab semisal itu. Lantas Ibnu Jarir Ath Thobari berkata,

انا لله ماتت الهمم

“Inna lillah … Semangat (ambisi) manusia saat ini telah mati.” (Tarikh Baghdad karya Al Khottib Al Baghdadi, 2: 163)

Memang benar kata beliau, ambisi besar untuk menghasilkan karya spektakuler yang bermanfaat bagi Islam untuk saat ini telah tiada. Hanya segelintir saja yang barangkali punya ambisi atau himmah besar dalam menuntut ilmu, amalan dan dakwah. Uswah atau teladan dari ulama terdahulu seperti ini yang patut kita ikuti.

Ya Allah, karuniakanlah pada kami himmah (ambisi) yang besar dalam ilmu, amal, dan dakwah serta dalam karya besar yang bisa bermanfaat untuk umat Islam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 

Sumber: https://muslim.or.id/