Type Here to Get Search Results !

 


BIOGRAFI IMAM IBNU HAJAR AL-ATSQALANI

Nama Ibnu Hajar

Namanya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar, al-Kinani al- Qabilah ( dari kabilah Kinanah), al-As qalani al-Ashl (berasal dari Asqalan), al-Mishri sebagai tempat kelahiran, tempat pertumbuhan, tanah air, dan tempat wafatnya, asy-Syafi’i, Qadhi al- Qudhah, Syaikhul Islam, Hafidz dunia secara muthlak, Amiriul Mukminin di bidang hadits. Gelarnya adalah Syihabuddin, dan bapaknya memberinya kunyah Abu Fadhl.[1]

 Kelahiran Ibnu Hajar

Ibnu Hajar dilahirkan pada 22 Sya’ban 773 H. As- Sakhawi (murid utamanya) mengatakan , “ Adapun kelahirannya ialah pada 22 Sya’ban 770 H di tepi sungai Nil, di Mesir. Rumah tempat kelahirannya di Mesir sudah dikenal, yang masih tetap dalam kepemilikam Syaikh kami, kemudian dijual sepeninggalnya. Rumah ini dekat dengan rumah pembuat tembaga dan al-Jami’ al-Jadid.”[2]

Ciri-ciri Fisik Ibnu Hajar

Dia bertubuh sedang, lebih cendrung pendek, berkulit putih, rupanya menawan, posturnya bagus, berwajah ceria, berjenggot tebal putih, berkumis pendek, beruban bagus bercahaya, pendengaran dan penglihatannya normal, giginya utuh lagi bersih, bermulut kecil, kuat keinginannya, tinggi cita-citanya, dan senantiasa dalam semangat, bertubuh kurus, berlisan fasih, merdu suaranya, bagus kecerdasannya, besar kecerdikannya, meriwayatkan syair dan sejarah orang-orang yang mendahuluinya dan orang-orang sezamannya.[3]

Ibnu Taghri bardi mengatakan, “ Dia- semoga Allah mengampuninya- memiliki uban yang bercahaya, ketenangan, keelokan dan kewibawaan, beserta segala yang dimilikinya berupa akal, kesabaran, diam, memimpin dengan hukum, dan mengambil hati manusia. Jarang sekali dia berbicara kepada orang lain dengan sesuatu yang tidak disukainya. Bahkan dia berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadanya, dan memaafkan orang yang (sebenarnya) sanggup dia balas.”[4]

Pertumbuhan dan Pencarian Ilmu Ibnu Hajar

Ustadz Abdussattar asy-Syaikh mengatakan, “ Ibnu Hajar kehilangan kedua orang tuanya saat berusia empat tahun. Ayahnya wafat pada bulan Rajab 777 H. Dan ibunya wafat sebelum itu saat dia masih kecil. Sebelum wafatnya, ayahnya berwasiat berkenaan dengan anaknya ( Ibnu Hajar) kepada seorang pedagang besar, Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad al-Kharubi, agar mengurusinya dengan sebaik-baiknya. Ayahnya juga menyampaiakan wasiatnya kepada Syaikh Syamsuddin bin al- qaththani, karna memiliki hubungan yang khusus dengannya. Dia tumbuh sebagai yatim dalam puncak iffah , pemeliharaan dan penjagaan, dalam asuhan az-Zaki al-Kharubi hingga wafat, sedangkan dia menjelang baligh, yang tidak mengenal kekanak-kanakan dan tidak pula jatuh dalam kesalahan. Az-Zaki al-Kharubi tidak melalaikan kesungguhannya dalam memeliharanya dan memperhatikan pendidikannya. Dia membawanya bersamanya saat bermukim di Mekkah, dan memasukkannya ke al-Maktab (sekolah anak-anak) setelah usianya genap lima tahun. Gurunya di Maktab, diantaranya ialah Syamsuddin bin al-Allaf – yang pernah menjabat wilayah hisbah Mesir dalam satu masa dan Syamsuddin al-Athrusy, tetapi dia tidak menyempurnakan hafalan al- Quran kecuali di hadapan seorang faqih dan pendidiknya, al-Faqih Syarih (pensyarah) Mukhtashar at-Tibrizi, Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazzaq as-Safthi al-Muqri’. Dia menyempurnakan hafalannya saat dia berusia sembilan tahun. Ketika ketika usianya telah genap 12 tahun, dia mengimami orang-orang dalam shalat Tarawih menurut kebiasaan yang berlaku di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Ketika itu, pengasuhnya selaku penerima wasiat (al-Kharubi) melaksanakan haji pada 784 H. dengan mengajak Ibnu Hajar. Kemudian dia kembali bersama pengasuhnya, al-Kharubi ke Mesir dan sampai disana pada 786 H. Sesampainya disana, dia memulai kesibukan dan bersungguh-sungguh, dengan menghafal kitab-kitab ringkasan ilmu, seperti Umdah al-Ahkam, al-Hawi ash-shaghir karya al- Qazwani, Mukhtashar Ibnu al-Hajib fi al-Ushul, Mulhah al-I’rab karya al-Hariri, Minhaj al-Wushul karya al-Baidhawi, alfiyah al-Hadits karya al-Iraqi, Alfiyah Ibnu Malik mengenai Nahwu, at-Tanbih mengenai furu’ dalam madzhab asy-Syafi’iyah karya asy-Syairazi dan selainnya.”[5]

Dr. hamid Abdul Majid mengatakan,” Allah telah menjadikannya mencintai hadits, lalu merasa lahap dengannya, bersemangat padanya, mewakafkan hidupnya untuk mempelajarinya, dan memperbanyak perjalanan untuk mencarinya. Meskipun dia telah mendengar banyak hadits sebelumnya, tapi dia tidak memperhatikan secara khusus dalam mencarinya dan memfokuskan padanya secara total kecuali setelah 796 H. Karna sebagaimana dia menulis dengan tangannya, dia juga membuka hijab, membuka pintu, bertekad kuat untuk meraih hasil, dan diberi hidayah kepada jalan yang lurus. Karna itulah, dia berkeliling mencari para guru, berkeliling di berbagai negeri dan memperbanyak penyimakan, serta menukil banyak hal dari buku-buku besar bersama dua guru besar, yaitu al-Hafidz Zainuddin Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi dan Syaikh Nuruddin al-Haitsami. Al-Hafidz al-Iraqi adalah seorang yang masyhur dengan fiqih dan orang yang paling hafal madzhab asy-Syafi’i, terutama nash-nashnya, disamping memiliki pengetahuan yang sempurna tentang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Ibnu hajar berkumpul bersama al-Hafidz al-Iraqi pada bulan Ramadhan 796 H, lalu menyertainya selama sepuluh tahun yang diselingi sejumlah perjalanan Ibnu Hajar ke Syam dan selainnya. Pada Syaikh inilah Ibnu Hajar al- Asqalani lulus, dan dialah orang yang pertamakali mengizinkannya untuk mengajar ilmu-ilmu hadits, menggelarinya dengan al-Hafidz, sangat memuliakannya, dan meninggikan namanya. Adapun ustadznya yang kedua, yaitu Nuruddin al-Haitsami, dan dia hidup selama setahun atau hamper setahun setelah kematian az-Zain al-Iraqi. Al-Hafidz mengatakan, “ Diantara yang aku baca di hadapannya secara tersendiri sekitar separuh dari Majma’az-Zawa’id  dan sekitar seperempat dari Zawa’id Musnad Ahmad . Dia sangat mengasihiku, dan mengakui keunggulanku mengenai disiplin ilmu ini – semoga Allah membalasnya dengan kebajikan atas jasanya terhadapku-. Ketika salah seorang gurunya melihatnya, yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin al-Wahdawaih, ternyata dia melihatnya sebagai orang yang sangat berkeinginan keras untuk mendengarkan hadits dan menulisnya. Maka dia menasehatinya agar menaruh perhatian terhadap fiqih sebagaimana perhatiannya terhadap hadits, karna manusia akan membutuhkan kepadanya berkenaan dengan ilmu ini.”[6]

Al-hafidz Ibnu hajar mengatakan,” Dia mengatakan kepadaku,’ Palingkanlah sebagian kemauan ini kepada fikih, karna aku melihat, melalui firasat, bahwa para ulama negeri ini akan punah, dan mereka akan membutuhkanmu. Karna itu, janganlah engkau membatasi dirimu.’ Ternyata kata-katanya bermanfaat untukku, dan aku terus-menerus mendoakan, semoga dia mendapatkan rahmat karna sebab itu.”[7]

 Guru-guru Ibnu Hajar

Al-hafidz as-Sakhawi mengatakan, “ Dia memiliki para Syaikh yang dimintai saran dan dimintai pendapat mereka untuk memecahkan problem mereka, yang belum pernah dimiliki oleh seorangpun dari penduduk zamannya. Masing-masing dari mereka memiliki kedalaman ilmu dan pemuka dalam disiplin ilmu yang dia menjadi masyhur dengannya, tidak ada yang menandinginya.  Al-Bulqini terkenal dengan keluasan hafalan dan banyak menelaah. Ibnu al-Mulaqqin masyhur dengan banyak tulisannya. Al Iraqi masyhur dengan pengetahuan ilmu hadits dan hal-hal yang bertalian dengannya. Al Haitsami terkenal dengan hafalan matan hadits dan mengemukakannya. Al-Majdu asy-syirazi memiliki hafalan dan pengetahuan bahasa. Al-Ghumari terkenal dengan pengetahuan bahasa arab dan hal-hal yang bertalian dengannya. Demikian pula al-Muhibb bin Hisyam memiliki pengetahuan yang baik tentangnya karena kecerdasannya yang melimpah, sedangkan al-Ghumari unggul dalam hafalannya. Al-Abnasi dikenal dengan pengajarannya yang bagus dan pemahamannya yang baik. Al-Izz bin Jama’ah terkenal dengan penguasaannya dalam berbagai ilmu, dimana dia mengatakan, ‘Aku membaca 15 ilmu yang mana ulama zamanku tidak mengetahui namanya.’ At-tanukhi masyhur dengan pengetahuan tentang qiraat dan ketinggian sanadnya mengenainya.[8]

Kendati demikian, mereka sangat memuliakan orang yang dikemukakan biografinya ini ( yaitu Ibnu Hajar), menghormatinya,dan berhati-hati dari berbicara kepadanya dengan tanpa penghormatan. Bahkan terkadang mereka merujuk kepadanya untuk memberikan pemahaman.”[9]

Murid-murid Ibnu Hajar

Berikut diantara murid-murid Ibnu hajar al-Asqalani :

  • Al-Hafidz as-Sakhawi

Dia adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu Bakar, dan dia adalah sejarawan, hujjah, allamah (orang yang sangat berilmu) tentang hadits dan rijalnya, tafsir, fikih, bahasa, adab, dan berpuncak padanya ilmu al-jarh wa at-ta’dil.

  • Burhanuddin al-Biqa’i, penulis Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayi wa as-Suwar
  • Zakaria al-Anshari, dan dia adalah Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshari
  • Ibnu al-Haidhari, dan dia adalah Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Haidhar
  • At-Taqi bin Fahd al-Makki
  • Al-Kamal bin al-Hammam al-Hanafi
  • Qasim bin Quthlubugha
  • Ibnu Taghri Bardi, penulis al-Minhal ash-Shafi
  • Ibnu Qazni
  • Abu al-Fahl bin asy-Syihnah
  • Al- Muhibb al-Bakri
  • Ibnu ash-Shairafi[10]

Kitab-kitab karya ilmiah Ibnu Hajar

Muhaddits Makkah, Taqiyuddin Muhammad bin Fahd mengatakan, “ Dia menulis karya-karya tulis yang berguna, enak, agung, terus berjalan, membuktikan segala keutamaan yang dimilikinya, menunjukkan faidahnya yang melimpah, dan menunjukkan niatnya yang baik. Dia menghimpun di dalamnya lalu memahamkannya, dan mengungguli rekan-rekannya, baik jenis maupun macamnya, yang enak didengar telinga, dan kesempurnaannya disepakati semua lisan. Karna hal itulah dia mendapatkan keberuntungan besar yang tidak bisa disifati dengan kata-kata, dan para kafilah membawanya berjalan sebagaimana perjalanan matahari.”[11]

Al-hafidz as-Sakhawi menukil dari syaikhnya, orang yang dikemukakan biografinya, bahwa dia mengatakan, “ Aku tidak puas sedikitpun dari tulisan-tulisanku, karna aku melakukannya di permulaan urusan, kemudian tidak ada orang yang bersedia mengeditnya bersamaku, kecuali Syarah al-Bukhari dan mukaddimahnya, al-Musytabih, at-Tahdzib dan Lisan al-Mizan .” Bahkan dia mengatakan mengenainya, “ Seandainya aku bisa memutar waktuku yang telah berlalu, niscaya aku tidak terikat dengan adz-Dzahabi, dan niscaya aku menjadikannya sebagai kitab baru yang orisinil.” Karya- karya tersebut diantaranya:

  • Ithaf al-Maharah bi Athraf al-‘Asyrah, yang terdiri dari delapan jilid. Di dalamnya, dia menghimpun penggalan dari sepuluh kitab, yaitu al-Muwaththa’ , 
  • Musnad Asy-Syafi’I, 
  • Musnad Ahmad, 
  • Musnad ad-Darimi, 
  • Shahih Ibnu Khuzaimah, 
  • Muntaqa Ibnu Jarud, 
  • Shahih Ibni Hibban, 
  • Mustadrak al-Hakim, 
  • Mustakhraj Abi Awanah, 
  • Syarh Ma’ani al-Atsar karya ath-Thahawi, 
  • Dan sunan ad-Daraquthni. Dia hanyalah melebihkan satu dar jumlah itu, karena Shahih Ibni Khuzaimah tidak terdapat padanya kecuali seperempat.
  • An-Nukat azh-Zhiraf ala al-Athraf, dan ini dicetak pada hamisy (tulisan pinggir) Tuhfah al-Asyraf, karya al-Mizzi.
  • Ta’rif Ahl at-Taqdis Bimaratib al-Maushufina bi at-Tadlis (Thabaqat al-Mudallisin).
  • Taghliq at-Ta’liqAt-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh al- Wajiz (at-Talkhis al-Habir)Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, yang diringkas dari kitab Nash bar-Rayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah karya al-Hafidz az-Zaila’iFath al-Bari Bisyarh shahih al-Bukhari. Ini adalah syarah al-Bukhari yang terbesar secara mutlak, dan karya al-Hafidz yang terbesarAl- qaul al-Musaddad fi adz-Dzabb an Musnad al-imam Ahmad.

Didalamnya, dia membicarakan hadits-hadits yang disangka sebagian ahli hadits bahwa itu adalah hadits maudhu’. Ini terdapat dalam Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal

  • Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, dan ini adalah ringkasan dar takhrij az-Zaila’i atas hadits-hadits al- Kasysyaf karya az-Zamakhzary
  • Mukhtashar at-targhib wa at-tarhib, dia meringkas padanya kitab karya al-Mundziri seukuran seperempat dari aslinya, dan memilih yang lebih kuat sanadnya dan lebih shahih matannya.Dan masih banyak lagi kitab beliau yang lainnya.[12]

Syair-Syair Ibnu Hajar

Berikut diantara syair yang lembut dari perkataan ibnu hajar,

Aku rindu kepada kalian sebagaimana rindunya orang sakit kepada

kesembuhan

            Sedangkan negeri kalian menjauh dalam setiap hari

            Aku ingin berkeliling kepada bayang-bayang kalian, sekiranya

Datang kepadaku

            Tetapi mataku tidak senang dengan kesedihan

Tatkala Qadhi al-Hanabilah, al-Muhibb bin Nashrullah mendengarnya, dia bersenandung untuk dirinya,

Kerinduanku kepada kalian tidak terperbaharui sedangkan kalian

Ada dalam hati, tetapi para tokohlah yang harus berkeliling

Karna tubuh dari kalian berkembang setiap hari

Sementara hati berkeliling di sekitar tempat penjagaan kalian

Diantara syairnya, setelah melakukan perjalanan dari Halab, dan dia telah menikah dengan seorang wanita yang biasa dipanggil “ Laila” lalu dia berpisah dengannya ketika hendak melakukan perjalanan, karna tidak memungkinkan bisa pergi bersamanya:

            Aku pergi denga meninggalkan kekasih dirumahnya

            Karna betapapun aku tidak cendrung kepada selainnya

            Aku menyibukkan dirikudengan hadits sebagai obat pada siang harinya

            Tetapi malamku senantiasa teringat kepada Laila[13]

Ibadah al-Hafidz Ibnu Hajar

Ustaadz Abdussattar asy-Syaikh mengatakan, “ Sifat-sifat unik dan sifat-sifat terpuji tersebut (Ibnu Hajar) diperindah dengan ketekunannya beribadah hingga menjadi contoh yang diteladani. Sungguh dia adalah orang yang suka mengerjakan qiyamul lail, bertahajjud, hingga saat dalam perjalanannya dan saat sakit keras menimpanya, hingga dia tidak mampu melakukan hal itu secara total. Dia tidak pernah meninggalkan shalat jum’at dan shalat  berjama’ah kecuali dalam keadaan terpaksa. Banyak berpuasa, dna berkeinginan keras untuk tidak mengosongkan waktunya dari ibadah. Hal itu disaksikan oleh Qadhi al-Qudhah al-Hanafiyah, Abu Fadhl Ibnu asy-Syanah, dan dia mengatakan, ‘Aku menemaninya disebagian perjalanannya, ternyata aku melihatnya melakukan Qiyamul Lail’.” Dia memperbanyak haji ke Baitullah al-Haram. Dia datang ke Hijaz-saat masih kecol bersama ayahnya-dan bermukim disana. Demikian pula –saat masih kanak-kanak- dia ajak oleh pengasuhnya (yang diberi wasiat oleh ayahnya), az-Zaki al-Kharubi, dan bermukim sementara di Mekkah pada 784 H. Pada 800 H, dia melakukan haji dengan haji Islam, sebagaimana berhaji pada 805 H. dan saat itu wukuf berptepatan pada hari jumat. Dia bermukim pada sebagian tahun 806 H. Kemudian dia mendapatkan kesempatan untuk melakukan perjalanan ke negeri Muqaddasah (Baitul Maqdis) pada 815 H., lalu berhaji juga. Akhir haji yang dilakukannya adalah pada 824 H. Bersama saudara iparnya, Muhibbuddin bin al-Asyqar, dan kerabatnya, az-Zain sya’ban. Saat itu wukufnya pada hari Jum’at juga. Pada kali ini dia bermukim di Madrsah al-Afdhaliyah, yang menempatkannya disana adalah Qadhi Mekkah, al-Muhibb bin Zhahirah.[14]

Al-Quran adalah pelipurnya di malam harinya, dan temannya dalam kesendiriannya. Dia membacanya sementara air matanya mengalir, karna dia mengetahui kandungan makna kata-katanya, dan mengetahui kandungan ayatnya berupa pelajaran dan larangan. Karna itu, dia takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya takut,

إِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاْ                                "Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya, hanyalah ulama.”[15]

Sungguh an-Nawaji berbuat baik saat menyifati sang Imam dengan perkataannya,

Ketika kegelapan meliputinya

Dia memiliki mata yang menangis dan air mata yang mengalir

Yang paling lezat ialah Kalam KhaliqNya yang dibacakan kepadanya

Dan yang paling berselera baginya ialah Mushaf[16] 

    Pujian para ulama kepada Ibnu Hajar 

Diantara pujian para ulama kepadanya adalah sebagaiman berikut:

    Al-Iraqi mengatakan,” Tatkala asy-Syaikh al-Alim al-Kamil al-Fadhil al-Muhaddits al-Mufid al-Mujayyid al-Muttaqin adh-Dhabith, at-Tsiqah, al-Ma’mun, Sihabuddin Ahmad Abu al-Fadhl bin asy-Syaikh, al-Imam, al-Alim (semoga Allah merahmatinya) Nuruddin … maka dia menghimpun para perawi dan suyukh (para guru), membedakan antara nasikh dan mansukh , menghimpun yang bersesuaian dan yang berbeda, dan membedakan antara perawi yang tsiqah dan para perawi yang dhaif. Dia memiliki keistimewaan dengan kesungguhannya yang tiada tara hingga menempuh jalan yang ditempuh ahli hadits, dan meraih ilmu yang melimpah dalam waktu yang singkat.”[17]Al-hafidz Ibnu Hajar mengatakan saat mengemukakan biografi syaikhnya, al-Iraqi, “ Dia bersaksi untukku dengan hafalan dalam banyak kesempatan. Dia menulis untukku dengan tulisan tangannya mengenai hal itu berkali-kali. Dia ditanya saat menjelang kematiannya tentang para penghafal yang masih tersisa sepeninggalnya, maka dia memulai dengan (nama)ku, dan yang keduanya adalah putranya, lalu yang ketiga adalah Syaikh Nuruddin.”[18]Syaikhnya, Burhanuddin Ibrahim al-Abnasi mengatakan, “ Dia termasuk termasuk orang yang telah dilihat oleh mata kebahagiaan, dan iradah telah mendahuluinya sejak azali, asy-Syaikh al-Imam al-Allamah al-Muhaddits al-Muttaqin al-Muhaqqiq, Syaikh Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad bin asy-Syaikh al-Imam al Alim, tokoh para pengajar, mufti kaum muslimin, Abu al-Hasan Ali yang masyhur dengan Ibnu Hajar Nuruddin asy-Syafi’ Ketika dia diberi inayah dengan inayah taufiq, dan diberi ri’ayah dengan tahqiq, maka dia mencermati ilmu-ilmu syariat, lalu mengurainya dengan sempurna, menganalisa persoalannya, membuka sebagian besar penutupnya, dan kekemauannya yang tertinggi dicurahkan kepada ilmu yang paling mulia dan paling utama, yaitu ilmu hadits.”[19]Al-Allamah asy-Syaukani mengatakan, “ Penghafal besar yang masyhur, imam yang tiada duanya dalam hal pengetahuan tentang hadits dam ilalnya dizaman-zaman belakangan. Hafalan dan kesempurnaannya diakui, baik oleh orang dekat maupun orang jauh, musuh maupun teman, hingga penyebutan secara muthlaq kata al-Hafidz telah menjadi kata kesepakatan. Para penuntut ilmu melakukan perjalanan kepadanya dari berbagai penjuru, dan karya-karyanya telah terseber dimasa hidupnya di berbagai penjuru. Para raja saling berkirim surat dari satu negeri ke negeri lainnya mengenai tulisannya, dan ini banyak sekali.”[20]Dia memiliki hafalan luas yang apabila aku sifatkan, maka sama saja membicarakan tentang al-Bahr (lautan) Ibnu Hajar, dan itu tidak masalah, dan kritikus yang menyamai Ibnu Ma’ Tidak ada yang bisa mengalahkannya, dan karya-karyanya tidak bisa diserupakan kecuali dengan perbendaharaan. Karna itu, ada penghalang yang menghalangi antara kita dengan segala pencarian. Semoga Allah mengindahkan dengannya zaman tersebut dan zaman terakhir, serta menghidupkan dengannya dan syaikhnya tradisi imla’ setelah terputus dalam waktu yang lama.”[21]Dan masih banyak lagi pujian para ulama lainnya.[22] 

Kejujuran hati dan keikhlasan Ibnu Hajar

Ustadz Abdussattar asy Syaikh mengatakan, “tidak mengherankan bila tingkah laku Alim Rabbani baik lagi bersih, dan niatnya jujur lagi ikhlas karena rabbnya. Batin dan zahir serupa, maka menghasilkan sosok orang yang langka. Jarang sekali zaman menjumpai orang semisalnya.” [23]

As-Sakhawi mengatakan, “secara kebetulan bahwa dia datang untuk membaca di hadapan al-Jamal al-Halawi tentang Musnad Ahmad-sebagaimana kebiasaannya-lalu dia mendapatinya sedang sakit, maka dia dan jamaah datang untuk menjenguknya. Kemudian syaikh mengizinkannya membaca, lalu dia segera membaca. Saat itulah dia melewati hadits Abu Sa’id al Khudri tentang ruqyah Jibril. Syaikh kami mengatakan, ‘aku pun meletakkan tanganku padanya pada saat membaca, dan aku berniat meruqyahnya, ternyata dia sembuh hingga datang kepada jamaah pada waktu pertemuan yang kedua dalam keadaan sembuh’.”[24]

As-Sakhawi mengatakan, “dia memiliki kesesuaian-kesesuaian yang mendekati kemiripan dengan hal tersebut, di antaranya bahwa dia menulis hadits Mu’awiyah bin Abu Qurrah (yang benar adalah al-Mughirah bin Abi Qurrah) dari Anas,                               

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، أُرْسِلُ نَاقَتِيْ وَ أَتَوَكَّلُ أَوْ أَعْقِلُهَا وَ أَتَوَكَّلُ ؟ قَالَ: اِعْقِلْهَا وَ تَوَكَّلْ 

‘Bahwa seseorang datang kepada Nabi lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, aku melepaskan untaku dan aku bertawakal (pada Allah), ataukah aku mengikatnya dan bertawakal?’ Beliau menjawab, ‘Ikatlah dan bertawakallah.’[25]

Bertepatan saat itu budaknya datang meminta izin untuk meninggalkan sesuatu disebabkan pemilik biografi tersebut (yakni as-Sakhawi) butuh untuk keluar rumah. Syaikh kami mengatakan,’Maka aku katakan kepadanya, ‘ikatlah dan bertawakallah’.”

Pada suatu malam, tanggal 12 Jumadil Ulama 844 H, dia terlihat berada di dekat bangunan istana milik al-Bakharzi. Disebutkan dalam biografi al-Muzhaffar bin Ali bahwa dia memiliki bait-bait ini mengenai ritsa’, yaitu,

Zaman telah memberikan musibah kepadaku sedangkan aku tidak

memiliki kesalahan

Ya, ujiannya menimpa orang yang paling mulia

Yang paling menyedihkan adalah tindakannya

Yaitu wafatnya Abu Yusuf al-Hanbali

Pelita ilmu tetapi tidak terlihat

Pakaian indah tetapi rusak[26]

 Syaikh kami mengatakan, “ aku pun kagum disebabkan hal tersebut, dan terlintas dalam jiwaku bahwa Qadhi al-Hanabilah al-Muhibb Ahmad bin Nashrullah al Baghdadi akan meninggal setelah tiga hari sesuai jumlah bait tersebut karena demam, dan ternyata demikian.” [27]

Sikap wara’ dan kehati-hatian Ibnu Hajar

Dr. Muhammad Kamal Izzuddin mengatakan, “Ibnu Hajar berusaha dengan segala kemampuannya untuk tidak makan suatu yang haram, atau yang mengandung syubhat haram. Karena itu, dia berhati-hati dalam berbagai tugasnya pada sesuatu yang lebih dekat kepada kehalalan agar dia makan dari rambu-rambu aturannya. Bahkan dia membedakan rambu-rambu aturanya itu satu sama lain dengan isyarat lewat satu titik, atau dua titik, dan sebagainya. Dia tidak makan sedikitpun dari apa yang di hadiahkan ke rumahnya. Jika dia terpaksa menghadiri walimah (pesta), acara penting dan sebagainya, yang biasanya penyelenggaraannya tidak berhati-hati (maksudnya tidak memperhatikan kehalalannya) maka dia memberikan kesan bahwa dia makan. Terkadang dia diberi ini dan itu oleh orang-orang yang duduk diatas gelaran (permadani), yaitu para pengikut dan semisal mereka, dari sesuatu yang ada di hadapannya, yang membuat orang yang punya kepentingan itu biasanya gembira. Adapun dia sendiri sebenarnya tidak memasukkan sedikit pun dari makanan tersebut ke dalam perutnya sama sekali. Sumber-sumber mengisyaratkan bahwa Sultan telah memberikan kepadanya jatah makanan saat dalam perjalanan ke wilayah utara, dan saat bermukim di Halb, berupa daging yang diberikan kepadanya setiap hari, namun dia tidak memakannya tetapi membeli selainnya hingga hartanya habis di sana, lalu saat itu dia membuat Buqsumath (semacam roti panggang makanan Iran) yang dia makan dengan gula dan semacamnya. Sementara orang-orang yang bersamanya makan daging yang diberikan kepadanya sebagai hidangan makan perjalanan seperti yang di makan Sultan. Demikian pula dia berhati-hati dari memberikan khutbah tertentu di benteng pada masa-masa sebagai qadhi, disebabkan lemahnya posisi kedudukannya.[28]

Dia memberikan kepada pelayannya untuk membeli suatu makanan untuknya, sembari berpesan agar tidak membebani penjual lebih daripada apa yang dia berikan dengan kerelaan hatinya. Di samping itu, dia bertanya kepadanya tentang sumber makanannya. Jika dia lupa bertanya, dan dia merasa enak makan darinya, karena menduga bahwa itu sudah menjadi kebiasaan yang berlaku, maka Allah mamasukkan ke dalam lintasan pikirannya sebelum selesai makannya. Jika diutarakan kepadanya tentang asal makanan yang tidak boleh di makan, maka dia minta sebuah bejana seraya mengatakan, ‘aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar.’ Kemudian dia memuntahkan apa yang ada didalam perutnya.” [29] 

Kemurahan dan Kedermawanan Ibnu Hajar

Dr. Muhammad Kamal Izzuddin mengatakan, “ Adapun baktinya dan sedekahnya kepada para hamba Allah – dengan strata mereka yang berbeda-beda- maka terdapat riwayat dan kisah yang bermacam-macam, yang kesimpulannya bahwa dia banyak berbuat kebaikan lagi gemar bersedekah. Diantaranya, dia memberikan kepada sebagian jamaahnya harta yang banyak untuk melapangkannya dalam menuntut ilmu dan semisalnya. Dia juga memberikan kepada jamaah lainnya. Demikan pula orang-orang fakir biasa berkumpul di depan rumahnya pada hari tertentu dalam setiap tahunnya, lalu dia biasanya membagi-bagikan sendiri kepada mereka, atau orang lain membagi-bagikan kepada mereka dihadapannya. Dia juga mencari orang-orang yang diperhitungkan dalam ilmu dan selain mereka, dengan mengutus seseorang ke tempat mereka. Dia juga sering mencaritahu tentang orang-orang yang dipenjarakan, dan menebus mereka dari hartanya. Dia berbuat baik kepada para tetanga yang fakir. Saat bulan ramadhan, dia membeli madu dan gula guna dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk melapangkan nafkah bulan itu.  Pada hari raya idul fithri dia membeli kismis dan selainnya. Pada hari raya idul Adha, dia memberikan binatang kurban kepada kaum fakir dan orang-orang yang membutuhkan, atau membagi-bagikan kepada mereka harta yang setara dengan seratus dinar. Dia sangat merahasiakan semua itu agar mendapat keutamaan sedekah secara sembunyi-sembunyi,”[30]

Penulis Taghliq at-Ta’liq mengatakan,” Taqiyuddin al-Maqrizi menyebutkan bahwa dia melihatnya – saat masih kecil – memberikan seseorang sebanyak 200 dirham perak sekaligus.”[31]

Wafatnya Ibnu Hajar

Al hafidz Ibnu Hajar mengisolasi diri dirumahnya setelah mengindurkan diri dari jabatan Qadhi al-Qudhah pada tanggal 25 Jumadil Akhir 852 H. Dia masih terus mengarang dan menghadiri majlis dikte hingga jatuh sakit pada bulan Dzulqa’dah tahun tersebut. Apabila dia diberi kabar tentang mimpi-mimpi dan serupanya yang menunjukkan kesehatannya, maka dia mengatakan, “ Adapun aku, maka aku tidak melihat diriku kecuali dlam keadaan terus berkurang, dan aku tidak menduga melainkan ajal sudah dekat. “ Kemudian dia bersenandung,

Tsa’ tsalasin dariku telah melemahkan badanku

Maka bagaimana keadaanku dengan tsa’ Tsamanin

Dia mengatakan, “ Ya Allah, bila engkau menghalangi afiatMu dariku, maka janganlah engkau menghalangi ampunanMu dariku.”

Pada malam sabtu permulaan Dzulhijjah, dua jam setelah shalat Isya, ruhnya kembali kepada rabbNya, sebagaimana putranya – pada hari berikutnya- menyiapkan jenazahnya dan memandikannya. Musibah ini dirasakan sangat besar, dan orang-orang menangisinya serta bersedih atas kematiannya, termasuk Ahl adz-Dzimmah (non muslim dalam perlindungan kaum muslimin). Pasar-pasar dan took-toko ditutup. Jenazahnya disaksikan. Belum pernah ada, setelah jenazah Ibnu Taimiyah, yang lebih ramai disaksikan daripadanya. Sampai-sampai as-Sakhawi mengatakan, “ Orang-orang berkumpul untuk melayat jenazahnya, tidak ada yang bisa menghitung jumlah mereka kecuali Allah, sehingga aku menyangka tidak ada seorangpun yang tertinggal dari menyaksikannya. Pasar-pasar dan took-toko ditutup.” Para tokoh maju untuk memikil kerandanya. Diantara orang yang memikulnya, ialah Sultan dan selainnya, yaitu para pemimpin dan ulama. Orang yang kuat berusaha keras bisa mencapai kerandanya, untuk menyentuh keranda tersebut dengan ujung jarinya. Al-Biqa’i mengatakan, “ Para pemimpin masyarakat berjalan kaki dari rumahnya memasuki pintu jembatan menuju Qarafah, tempat dimana dia dikuburkan. Sultan azh-Zhahir Jaqmaq datang untuk menshalatinya. Khalifah al-Mustakfi Billah Abu ar-Rabi’ Sulaiman, pada qadhi , ulama, umara, tokoh bahkan mayoritas manusia, berjalan kaki untuk melayat jenazahnya. Sampai-sampai dituturkan dari sebagian cendekia bahwa yang menghadiri jenazah lebih dari 50.000 orang. Hari kematiannya itu adalah hari yang sangat berat bagi kaum muslimin hingga bagi ahli Dzimmah.[32]

____

Referensi

[1] Lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 937

[2] Lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 937

[3] Lihat Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani Amir al-Mu’minin fi al-Hadits, karya Abdussattar asy-Syaikh, Damaskus: Cet. Dar al- qalam, t.th, hal.51

[4] Lihat Taghliq at-Ta’liq, karya al-Hafidz Ibnu Hajar, Beirut: al-Maktab al-Islami, Dar Ammar, t.th. 1/59

[5] Al hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, hal-67-70 dengan ringkas ( lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 943-944)

[6] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 944-945

[7] Diringkas dari Amir al-Mu’minin fi al-Hadits  Ahmad bin Ali Hajar al-Asqalani   Dr. hamid Abdul Majid, Np: Cet. Al-Majlis al-A’la li asy-Syu’un al-Islamiyyah, edisi 23, hal.151-152 (lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 945)

[8] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 951

[9] Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al- Islam Ibnu Hajar, as-Sakhawi, hal.79-80

[10]  lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 952

[11] Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al- Islam Ibnu Hajar, as-Sakhawi, hal.215-216

[12] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 954-956, dikitab ini disebutkan terdapat 26 judul kitab karangan Ibnu Hajar sebagaimana yang diringkas dan dikutip secara bebas dari al-Hafidz Ibnu Hajar, Ustadz Abdussattar asy-syaikh, hal.377-476

[13] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 952-953

[14] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 946

[15] Al-Quran surat Fathir:28

[16] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 947

[17] Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al- Islam Ibnu Hajar, as-Sakhawi, hal.210 dan usia al-Hafidz saat itu belum mencapai 33 tahun

[18] Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al- Islam Ibnu Hajar, as-Sakhawi, hal.77

[19] Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al- Islam Ibnu Hajar, as-Sakhawi, hal.205

[20] Al-Badr ath-Thali’ bi Mahasin Man Ba’da al-Qarn as-Sabi’, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, 1/87-88

[21] Lihat Nazhm al-Iyan, Jalaluddin as-Suyuti, hal.45, dinukil dari Amir al-Mu’minin fi al-hadits Ahmad bin Ali bin hajar al-Asqalani, karya Dr. Hamid Abdul majid, hal.612,613

[22] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 938-943

[23] Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, ustadz Abdussattar asy-Syaikh, hal.61

[24] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 950

[25] HR. at-Tirmidzi, no.2441

[26] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal. 950-951

[27] Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al- Islam Ibnu Hajar, as-Sakhawi, hal.79

[28] lihat kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal.947-948

[29] At-Tarikh wa al-manhaj at-Tarikhi, Ibnu Hajar al-Asqalani, hal. 101-102, Dar Iqra’.

[30] At-Tarikh wa al-manhaj at-Tarikhi, Ibnu Hajar al-Asqalani, hal. 102

[31] Taghliq at-Ta’liq, al-Hafidz Ibnu Hajar, Beirut: al-Maktab al-Islami, Dar Ammar, t.th.

[32] Diringkas dari  kitab min a’laamis salaf yang ditulis oleh syaikh Ahmad farid, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul Haq, Hal.956-958

Sumber: https://wikimuslim.or.id/