Type Here to Get Search Results !

 


IMAM AL-BUKHARI RAHIMAHULLAH, SATU TANDA KEKUASAAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Oleh Ustadz Abu Minhal Lc 

Allâh Azza wa Jalla memelihara dan menjaga agama ini dengan memunculkan orang-orang yang mentajdid agama-Nya dan menjaga atsar-atsar Rasul-Nya serta mengibarkan panji-panji Sunnah. Dia telah menentukan insan-insan terpilih yang ‘uduul, yang menghidupkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , membela dan menyebarkannya di tengah umat. Mereka menjadi pelita yang menerangi jalan umat, dan menyinari hati kaum Mslimin dengan ilmu yang diwariskan, nasehat yang disampaikan, akhlak mulia yang dipraktekkan, dan ibadah yang ditekuni. 

Tentang keutamaan Ulama, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam muqaddimah kitab tentang biografi Imam Syâfi’i rahimahullah yang berjudul Tawâli at-Ta`sîs li Ma’âli Muhammad bin Idrîs (hlm.25): “Segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan bintang-bintang langit sebagai petunjuk bagi orang-orang yang kebingungan arah di daratan dan lautan karena gelapnya malam, dan menjadikan bintang-bintang bumi – yaitu para ulama – petunjuk dari kegelapan jahl (kebodohan), dan mengutamakan sebagian mereka di atas sebagian yang lain dalam tingkat pemahanan dan kecerdasan, sebagaimana Dia Azza wa Jalla mengutamakan sebagian bintang di atas bintang yang lain dalam keindahan dan terangnya cahaya”. [Kutipan dari al-Imâmu al-Albâni durûs wa mawâqif wa ‘ibar , Syaikh Abdul Aziz as-Sadhan hlm. 8] 

Pemaparan sejarah para ulama itu sangat bermanfaat bagi generasi yang datang belakangan sehingga dapat meneladani tokoh-tokoh umat tersebut. Ibnu Khalikân rahimahullah berkata dalam Wafayâtu al-A’yân (1/20): “Aku sebutkan (biografi) sejumlah orang yang aku lihat mereka langsung dan aku kutip berita tentang mereka, atau orang-orang yang hidup di masaku, akan tetapi aku tidak sempat menjumpai mereka tujuannya agar orang-orang (generasi) yang datang setelahku bisa mengetahui (baiknya) kondisi mereka”. [Kutipan dari al-Albâni durûs wa mawâqif wa ‘ibar hlm.7] 

Dengan demikian, mengenal tarjamah (biografi) para Ulama bermanfaat sekali bagi umat, khususnya para thullâbul ‘ilmi. Bila seorang Muslim menelaah biografi orang-orang yang mulia itu, pengetahuan itu akan membantu meluruskan jalan kehidupannya dan sekaligus sebagai bahan introspeksi diri dengan mengetahui kekurangan pada dirinya sendiri. Melalui buku-buku sejarah itulah para Ulama telah hidup dan hadir di masa sekarang lantaran seseorang dapat bergaul dan mendalami kehidupan mereka. yang sudah pergi ditampilkan kembali, sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Sakhâwi rahimahullah mengatakan: 

مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِناً فَكَأَنَّمَا أَحْيَاهُ 

“Barang siapa menulis sejarah seorang Mukmin, seolah-olah ia sedang menghidupkannya (kembali ke alam nyata)” [Nukilan dari Muqaddimah Adhwâul Bayân, ‘Athiyyah Sâlim hlm. Xii] 

NASAB AMIRUL MUKMININ DALAM BIDANG HADITS 

Bidang yang sangat pantas mendapatkan perhatian besar dan tercurahkannya segala kemampuan padanya – setelah Kitâbullâh – adalah Hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab, jaminan aman dari kesesatan didapat dengan menjaga dan memelihara Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,sebagaimana disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِيْ كِتاَبَ اللهِ وَسُنَّتِيْ 

Aku tinggalkan di tengah kalian jika kalian memeganginya tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnahku [HR. al-Hâkim, al-Mustadrak 1/93 dari Abu Hurairah dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no.1761 dan Shahîhul Jâmi’ 1/39] 

Di antara tokoh ternama lagi menonjol dengan khidmahnya dalam bidang ilmu hadits, yaitu Abu Abdillâh Muhammad bin Ismâil yang lazim dikenal dengan nama Imam al-Bukhâri. Sebuah nama yang sangat dikenal dalam sejarah Islam, terutama oleh para insan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits. 

Beliau adalah Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Mughîrah bin Bardizbah. Dilahirkan di Bukhara selepas shalat Jum’at, tepatnya tanggal 13 Syawal 194 H. Ayah Imam al-Bukhâri, seorang yang bertakwa dan wara’, sempat belajar dari Imam Malik rahimahullah dan berjumpa Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubârak. Namun Allah berkehendak mewafatkannya Imam al-Bukhâri masih kanak-kanak. Karena itu, beliau tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan asuhan sang ibu. 

Pada masa kanak-kanak, Muhammad bin Ismail sempat mengalami kebutaan Suatu malam, sang Ibu bermimpi melihat Ibrâhîm al-Khalîl Alaihissallam dan berkata kepada ibunya, “Wahai wanita, Allâh telah mengembalikan penglihatan kepada anakmu karena engkau banyak menangis (banyak berdoa)”. Di pagi harinya, penglihatan putranya kembali normal[1] 

BENTUK FISIK IMAM AL-BUKHARI 

Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah mengatakan, ‘Aku pernah mendengar Hasan bin Husain al-Bazzâz berkata, ‘Aku melihat Muhammad bin Ismail seorang yang berbadan kurus, tidak tinggi dan tidak (juga) pendek’.[2] 

BELAJAR SEJAK BELIA 

Imam al-Bukhâri rahimahullah memulai perjalanan ilmiahnya sejak dini. Beliau telah menghafalkan al-Qur`ân semenjak kecil juga. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan beliau menjadi Amirul mukminin fil hadits.

Allâh Azza wa Jalla mengilhamkan pada Muhammad bin Ismâ’îl kecil untuk menyenangi menghafal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Imam al-Bukhâri rahimahullah menceritakan, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu, usiaku sekitar 10 tahun, hingga aku keluar dari madrasah itu pada usia 10 tahun. Aku mulai belajar kepada ad-Daakhili dan ulama lainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanad dari) Sufyan, dari Abu Zubair dari Ibrahim… Maka aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim”. Ia pun menghardikku. Lantas aku berkata, “Coba telitilah kembali kitab aslinya”. Ia pun memasuki rumah dan meneliti kembali, kemudian keluar dan bertanya, “Bagaimana penjelasannya wahai anak muda?”. Aku menjawab, “(Yang dimaksud) adalah Zubair bin ‘Adi dari Ibrahiim..”. Beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya, seraya berkata, “Engkau benar”. Abu ‘Abdillah juga pernah menceritakan, “Aku pernah belajar kepada para fuqaha Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majlis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku, “Berapa banyak (hadits) yang telah engkau tulis?”. Aku menjawab, “Dua (hadits)”. Orang-orang yang hadir pun tertawa. Lalu salah seorang syaikh berkata, “Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat nanti justru dia yang menertawakan kalian”. 

Demikianlah gambaran bakat keilmuannya telah tampak. Pada usia 16 tahun, beliau sudah menghafal kitab karangan Imam Waki’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian pada usia 17 tahun, beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya Muhammad bin Salam al-Biikandi untuk mengoreksi karangan-karangannya. 

Bersama Ibu dan saudaranya, pada usia 18 tahun, Muhammad bin Ismâ’îl pergi haji ke Mekah. Beliau tetap bertahan di kota suci itu untuk meneruskan mendalami hadits bersama para Ulama di sana, sementara keluarga beliau pulang. 

MENIMBA ILMU BERSAMA LEBIH DARI SERIBU GURU 

Pertama, Imam al-Bukhâri menimba ilmu dari Ulama setempat. Beliau berguru kepada Muhammad bin Salam al-Biikandi, Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far bin Yamaan al-Ju’fi al-Musnidi, dan ulama lainnya. Selanjutnya, beliau keluar dari kampung halamannya dan mengembara mendatangi banyak kota untuk memperdalam ilmu hadits. 

Kota Balkh, Naisabur, Ray, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Syam, beliau datangi dalam rangka mencari dan mendatangi Syaikh-Syaikh mumpuni dalam bidang hadits. Tak pelak, syaikh (guru) beliau pun berjumlah banyak, bahkan beliau sendiri yang menyatakan hal ini, “Aku menulis (riwayat) dari seribu lebih syaikh. Dari setiap syaikh itu, aku tulis sepuluh ribu riwayat bahkan lebih. Tidaklah ada hadits padaku kecuali aku sebutkan sanadnya (juga)”. [Lihat as-Siyar:12/407, al-Bidâyah 11/22] 

Sebelum meninggal, Imam al-Bukhâri rahimahullah pernah menyatakan, “Aku telah menulis (hadits) dari 1080 orang. Semuanya adalah ahlul hadits. Mereka semua meyakini, ‘Iman adalah qaul dan amal, berrtambah dan berkurang’. [as-Siyar:12/395] 

Kota Baghdad beliau masuki sampai delapan kali. Dan setiap memasukinya, beliau berjumpa dan berkumpul dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad menganjurkan beliau untuk bermukim di Baghdad saja, tidak di Khurasan. 

Di antara nama Ulama besar yang menjadi guru beliau: Imam Ishaq bin Rahuyah, Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyaabi, Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam ‘Ali bin al-Madini, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Makki bin Ibraahim al-Balkhi, Abdaan bi Utsmaan, Imam Abu Ashim an-Nabiil, Muhammad bin ‘Isaa ath-Thabbaa’, Khalid bin Yazid al-Muqri` murid Imam Hamzah, dan masih banyak lagi.[3] 

Tidak mengherankan bila jumlah guru beliau sangat banyak. Tampaknya jumlah guru yang besar ini disebabkan oleh dua faktor: (1) Imam al-Bukhâri rahimahullah memulai perjalanan lmiahnya sejak beliau dan (2) Banyak kota yang beliau datangi untuk tujuan yang mulia tersebut. 

KEKUATAN HAFALAN IMAM AL-BUKHARI

Kekuatan hafalan Imam al-Bukhâri sudah terakui oleh para Ulama di masanya. Bahkan banyak yang menyampaikan kalau beliau langsung menghafal suatu kitab hanya dengan membacanya sekali saja. 

Hasyid bin Ismâ’îl pernah menceritakan, “Dahulu Abu ‘Abdillâh bersama kami mendatangi para guru Bashrah. Waktu itu ia masih belia, dan tidak (tampak) mencatat apa yang telah didengar. Hal itu berlangsung beberapa hari. Kami pun bertanya kepadanya, “Engkau menyertai kami mendengarkan hadits, tanpa mencatatnya. Apa yang kamu perbuat sebenarnya?. Enam belas hari kemudian, Imam al-Bukhâri rahimahullah akhirnya menjawab, ‘Kalian telah sering bertanya dan mendesakku. Coba tunjukkanlah apa yang telah kalian tulis’. Maka kami mengeluarkan apa yang kami miliki yang berjumlah lebih dari 15 ribu hadits. Selanjutnya, ia menyebutkan seluruhnya dengan hafalan, sampai akhirnya kami membenahi catatan-catatan kami melalui hafalannya. Kemudian ia berkata, “Apa kalian sangka aku bersama kalian hanya main-main saja dan menyia-nyiakan hari-hariku?!” Maka, kami pun sadar, tidak ada seorang pun yang melebihinya’.[4] 

Kehebatan hafalan beliau juga tampak ketika Ulama Baghdad mendengar akan kedatangan Abu ‘Abdillâh ke kota mereka. Dengan sengaja, mereka itu mempersiapkan seratus hadits dan kemudian menukar dan merubah matan dan sanadnya. Mereka menukar matan satu sanad dengan teks hadits yang lain, dan begitu sebaliknya. Setiap orang memegangi sepuluh hadits yang nantinya akan dilontarkan kepada Abu ‘Abdillâh sebagai bahan ujian kekuatan hafalannya. 

Orang-orang pun berkumpul di dalam majlis. Orang pertama menanyakan kepada Imam al-Bukhâri sepuluh hadits yang ia miliki satu persatu. Setiap kali ditanya, Imam al-Bukhâri menjawab, sampai hadits yang kesepuluh, “Saya tahu mengenalnya (hadits itu dengan sanad yang disebutkan). Para Ulama yang hadir pun saling menoleh kepada yang lain dan berkata, “Orang ini (benar-benar) paham”. Sementara orang yang tidak tahu tujuan majlis itu diadakan menilai Imam al-Bukhâri sebagai orang yang lemah hafalannya.

Kemudian tampillah orang kedua, melakukan hal yang sama. Dan setiap kali mendengarkan satu hadits, beliau berkomentar sama, “Aku tidak mengenalnya”. Selanjutnya tampil orang ketiga sampai orang terakhir. Dan komentar beliau pun tidak lebih dari ucapan, “Aku tidak mengenalnya”. 

Setelah semua selesai menyampaikan hadits-haditsnya, Imam al-Bukhâri menoleh ke arah orang pertama seraya meluruskan, “Haditsmu yang pertama mestinya demikian, yang kedua mestinya demikian, yang ketiga mestinya demikian, sampai membenarkan hadits yang kesepuluh. Setiap hadits beliau satukan dengan matan-matannya yang benar. Beliau melakukan hal yang sama kepada para ‘pengujinya’ lainnya sampai pada orang yang terakhir. Akhirnya, orang-orang pun betul-betul mengakui akan kehebatan hafalan beliau.[5] 

Di Samarkand, beliau pun menghadapi hal yang sama. Empat ratus ulama hadits menguji beliau dengan hadits-hadits yang sanad-sanad dan nama rijâl (para perawi) yang telah dicampuradukkan, menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam sanad penduduk Irak, meletakkan matan hadits bukan pada sanadnya. Lantas, mereka membacakan hadits-hadits plus sanad-sanadnya yang sudah campur-aduk ini ke hadapan Imam al-Bukhâri rahimahullah. Dengan sigap, beliau mengoreksi semua hadits dan sanad itu dan menyatukan setiap hadits dengan sanadnya yang benar. Para Ulama yang menyaksikan itu, tidak mampu menjumpai satu kesalahan dalam peletakan matan maupun penempatan posisi para perawi. [Lihat as-Siyar 12/411, al-Bidâyah 11/22] 

Dua kejadian ini sudah sangat cukup menjadi petunjuk akan kekuatan dan kekokohan daya ingat Imam al-Bukhâri, sebab tanpa persiapan sedikit pun dan tidak mengetahui apa yang akan ia hadapi , ternyata beliau mampu melewati ‘ujian’ tersebut. 

Abu Ja’far pernah menanyakan kepada Abu Abdillah, “Apakah engkau hafal seluruh (riwayat) yang engkau masukkan dalam kitabmu?”. “Tidak ada yang kabur pada (hafalan)ku seluruhnya”.[As-Siyar:12/403] 

Abu Abdillah pernah bercerita tentang dirinya, “(Suatu ketika) aku mengingat-ingat murid Anas. Dalam sekejap 300 terbetik dalam ingatanku”. 

Mengenai cara menghasilkan daya ingat yang kuat, beliau tidak memandang adanya makanan atau minuman yang perlu dikonsumsi seseorang untuk menguatkan hafalannya. Kata beliau: 

لاَ أَعْلَمُ شَيْئًا أَنْفَعَ لِلْحِفْظِ مِنْ نَهْمَةِ الرَّجُلِ وَمُدَاوَمَةِ النَّظَرِ ِ

Aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada keinginan kuat seseorang dan sering menelaah (tulisan)’[6] 

BETAPA BANYAK HADITS YANG BELIAU HAFALKAN 

Gelar amirul mukminin dalam bidang hadits yang melekat pada Imam al-Bukhâri sudah tentu berlatar belakang akan kedalaman penguasaannya – yang mengungguli lainnya- terhadap hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya; pemahaman, hafalan dan seluk-beluk terkait derajat rijâlul hadits (para perawi hadits). Aspek banyaknya hafalan beliau terhadap hadits pun pastilah sangat menonjol. Hal ini sudah diakui dan diceritakan oleh murid-murid beliau maupun Ulama lainnya. 

Saking banyaknya hadits shahih yang beliau hafal, Imam Al-Fallâs t sampai berkata, “Setiap hadits yang tidak dikenal oleh al-Bukhâri rahimahullahbukanlah hadits shahîh”.[7] 

Tidak hanya hadits shahih saja yang beliau hafalkan, hadits-hadis yang tidak shahih juga menjadi perhatian beliau. Imam al-Bukhâri rahimahullahpernah berkata, “Aku menghafal seratus ribu hadits shahih, dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”.[8] Baca Juga  Nabi Ibrahim Alaihissalam Hijrah Ke Mekkah Dan Membangun Ka’bah 

ANTARA ILMU DAN AMAL 

Imam al-Bukhâri rahimahullahjuga menjadi teladan dalam ibadah dan akhlak sebagai bentuk pengamalan ilmunya. Setiap malam, beliau mengerjakan shalat malam sebanyak 13 rakaat, dan setiap malam dalam bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan bacaan al-Qur`ân. Beliau berinfak dan bersedekah di siang dan malam. 

Beliau dikenal sebagai orang yang pemberani, pemaaf, banyak berderma, berbudi pekerti luhur, zuhud terhadap dunia dan hati-hati dalam berbicara. Termasuk saat melakukan jarh, beliau menggunakan ungkapan yang halus untuk menilai perawi yang bermasalah atau berderajat lemah. 

Imam al-Bukhâri rahimahullahpernah mengatakan, “Aku berharap berjumpa dengan Allâh Azza wa Jalla , tanpa ada seorang pun yang menuntutku karena aku telah menggunjingnya”. 

PUJIAN ULAMA TERHADAP IMAM AL-BUKHARI 

Melihat reputasinya, pantaslah beliau mendapat pujian. Pujian mengalir kepada Imam al-Bukhâri dari para Ulama di masa itu, baik dari guru-guru maupun teman-temannya. 

Imam Ahmad bin Hanbal (salah seorang gurunya) mengatakan, ‘Negeri Khurasan tidak pernah melahirkan seperti dirinya’. Ini jelas merupakan syahadah (persaksian) yang sangat istimewa karena disampaikan oleh Imam Ahli Sunnah wal Jamaah. 

Imam Ishaq bin Rahuyah (gurunya) berkata, “Seandainya dia (al-Bukhâri) hidup di masa Hasan al-Bashri pastilah orang-orang membutuhkannya karena penguasaan dan pemahamannya terhadap hadits”. 

Muhammad bin Basysyaar (gurunya) berkata, “Huffaazh (Ahli Hadits) di dunia ada empat: Abu Zur’ah dari Ray, ad-Daarimi dari Samarkand, Muhammad bin Ismail dari Bukhara dan Muslim dari Naisabur”. 

Imam Qutaibah berkata, “Seandainya Muhammad hidup di kalangan Sahabat maka ia adalah mukjizat”. 

Imam Raja al-Haafizh mengatakan, “Ia adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang berjalan di atas bumi”. 

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (salah seorang muridnya) berkata, ‘Aku belum pernah melihat di bawah langit orang yang lebih mengetahui hadits Rasûlullâh, lebih kuat hafalannya daripada Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri”. 

Imam at-Tirmidzi rahimahullah (salah seorang muridnya) berkata, “Aku belum pernah melihat di Irak, tidak juga di Khurasan, seseorang yang lebih paham tentang ‘ilal, tarikh dan pengetahuan mengenai sanad hadits dibandingkan Muhammad bin Isma’il”. 

Muhammad bin Munir, salah seorang gurunya, bahkan mengaku, “Aku termasuk murid Muhammad bin Isma’il (al-Bukhâri). Dia adalah seorang guru”. [As-Siyar:12/415] 

MENJADI GURU PARA IMAM HADITS 

Penguasaan Imam al-Bukhâri rahimahullahyang mendalam dalam bidang ilmu hadits, sudah menonjol sejak beliau remaja. Banyak orang datang berduyun-duyun mendatangi beliau baik di majlis maupun di tempat lainnya. 

Pernah, orang-orang berilmu dari kota Basrah berjalan di belakang beliau untuk mendengarkan hadits dan akhirnya mereka bisa menghentikan beliau di satu jalan. Ribuan orang duduk berkumpul di dekat beliau. Kebanyakan dari mereka menulis riwayat dari beliau. Waktu itu, beliau masih seorang remaja yang belum tumbuh jenggotnya. Beliau dminta untuk duduk di satu jalan dan memperdengarkan riwayat-riwayat hadits. 

Kedalaman ilmunya dalam bidang hadits yang didukung oleh intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman tentang kandungan hadits dan penguasan rijaalul hadits dan illah-illahnya membentuk beliau menjadi seorang pakar hadits terkemuka sepanjang zaman. Kelebihan-kelebihan ini jelas menarik minat para penuntut ilmu untuk menghadiri majlis ilmunya.

Nama-nama terkenal menghiasai daftar orang-orang yang berguru pada Imam al-Bukhâri rahimahullah. Di antara mereka adalah, Imam Muslim rahimahullah, Imam at-Tirmidzi rahimahullah, Imam Abu Hâtim rahimahullah, Imam Ibnu Abi Dunya rahimahullah, Imam Ibrâhîm bin Ishâq al-Harbi rahimahullah, Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah. 

DOANYA MUSTAJAB 

Imam Ibnu Katsîr dalam al-Bidâyah (11/24) menyebutkan bahwa Imam al-Bukhâri rahimahullahtermasuk orang yang mustajâbu da`wah, doanya dikabulkan. Kejadiannya, gubernur kota Bukhâra mengusirnya dari kota itu. Atas pengusiran yang tidak berdasar itu, Imam al-Bukhâri rahimahullahpun berdoa. Sebulan belum genap berjalan, sang gubernur diberhentikan dan dipenjarakan di Baghdad sampai meninggal di dalamnya. Orang-orang yang ikut berpran dalam pengusiran Imam al-Bukhâri pun mengalami musibah. 

Beliau pun pindah menuju satu daerah bernama Khortank, tinggal bersama beberapa kerabat di sana. 

IMAM AL-BUKHARI RAHIMAHULLAH WAFAT 

Usai mengisi hari-hari kehidupannya dalam kesibukan menyebarkan ilmu (hadits), ajal yang telah ditentukan menjemput Imam al-Bukhâri. Beliau sempat sakit sebelum meninggal. Wafat pada malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri, tahun 256H dalam usia 62 tahun. Jenazah beliau ditutup dengan tiga lembar kain putih, tanpa mengenakan qamis maupun imamah, sebagaimana isi wasiat yang beliau sampaikan sebelum meninggal. Saat proses pemakaman jenazah, tersebar aroma wangi yang lebih harum dari minyak misk dari kuburnya dan sempat bau harum itu selama beberapa hari. 

Banyak ilmu bermanfaat yang telah beliau wariskan bagi seluruh kaum Muslimin. Ilmu beliau tidak putus, tetap mengalir atas usaha-usaha baik yang telah curahkan dalam hidupnya. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَـطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : (مِنْهَا) عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ 

Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: (diantaranya) ilmu yang bermanfaat.

Kitab-kitab yang beliau wariskan kepada umat Islam yaitu Shahih al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad, at-Tarikh ash-Shaghir, at-Tarikh al-Kabir, at-Tarikh al-Ausath, Khalqu Af’ali al-‘Ibaad, juz fi al-Qira`ah khalfal Imam. 

PENUTUP 

Inilah sekelumit sejarah seorang yang berjuluk Amirul Mu`minin dalam bidang hadits. Sejarah seorang insan yang menakjubkan lagi sarat dengan ‘ibrah (pelajaran) umat sepeninggalnya. 

Syaikh ‘Athiyyah Sâlim Rahimahullah berkata, “Aku betul-betul meyakini bahwa biografi para Ulama adalah madrasah (tempat pembinaan) bagi para generasi mendatang, yaitu melalui ilmu-ilmu dan sisi kehidupan mereka yang menonjol “ [Adhwâul Bayân 1/xii]. 

Semoga rahmat Allâh Azza wa Jalla selalu tercurahkan pada seluruh Ulama Islam di setiap masa dan tempat. Wallâhu a’lam.

_______ 

Footnote 

[1]. Asâmi man rawâ ‘anhum Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri , al-Hâfizh Ibnu ‘Adi al-Jurjâni, tahqîq Badr bin Muhammad al-‘Ammâsy, hlm.60

[2]. Cukup banyak Ulama yang membukukan nama-nama guru Imam al-Bukhari dalam kitab khusus, di antaranya, Asaami Syuyuukhi al-Bukhari karya Hasan bin Muhammad ash-Shaghaani, Tanqiihu Rijaali al-Bukhaari karya Muhammad bin Yusuf al-Karmaani, at-Ta’rif bi Syuyuukhi al-Bukhari karya al-Haafizh Husain bin Muhammad al-Ghassani dan lainnya. DR. Badr al-‘Ammaasy menyebutkan 35 judul kitab dalam masalah ini. Lihat Asâmi man rawâ ‘anhum Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri , al-Hâfizh Ibnu ‘Adi al-Jurjâni, tahqîq Badr bin Muhammad al-‘Ammâsy, hlm.46-53 

[3]. as-Siyar:12/407 

[4]. Lihat hlm.62-63, Siyar 12/409, al-Bidâyah wan Nihâyah:11/22 

[5]. as-Siyar, 12/406 

[6]. al-Bidâyah, 11/23 

[7]. as-Siyar 12/415, Tahdzîbul Kamâl, no.1172 Home /Aktual : Mabhats/Imam Al-Bukhâri Rahimahullah, Satu... 🔍 Hadits Tentang Keutamaan Shalat, Bahaya Meninggalkan Shalat, Cara Meruqyah Anak Kecil, Dalil Tentang Najis, Doa Cepat Dikabulkan   

Sumber: https://almanhaj.or.id/

Kisah Seorang Pemimpin Ahli Hadits

Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama yang menempati posisi khusus dalam umat ini. Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan peranan mereka yang begitu besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam. Inilah keistimewaan ulama hadits dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para pembawa panji sunnah Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua setelah Alquran. Sunnah Rasulullah merupakan muara yang padanya setiap cabang ilmu agama akan kembali. Tidak ada satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu agama, yang tidak membutuhkan penjelasan mereka tentang sunnah Rasulullah.

Di antara ulama pewaris ilmu Rasulullah tersebut adalah Al-Imam al-Bukhari. Beliau terhitung sebagai ulama ahlul hadits jajaran terdepan yang hidup pada kurun ketiga hijriyah. Sangat sulit mencari ulama yang setaraf ilmunya dengannya. Bahkan, mayoritas ulama menggelarinya sebagai imam pemimpin ulama hadits lainnya, baik pada masa hidupnya, maupun sepeninggalnya.

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah1 al-Bukhari al-Ju’fi.2 Beliau dilahirkan di Bukhara3 selepas shalat Jumat. Tepatnya pada tanggal 13 Syawal tahun 194 H. Ayah Beliau, Ismail, dikenal sebagai orang yang wara’ lagi bertakwa. Ia sempat menuntut ilmu kepada Imam Malik bin Anas, serta berjumpa dengan Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubarak. Namun sayangnya, Allah tidak menghendaki ia menyaksikan tumbuh kembang putranya hingga menjadi seorang pakar hadits terkemuka. Allah mewafatkannya ketika al-Bukhari masih kecil. Sehingga tidak seperti beberapa ulama lainnya, Imam al-Bukhari tidak sempat merasakan asuhan dan bimbingan keilmuan dari sang ayah, karena statusnya yang yatim. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan tekadnya untuk menuntut ilmu. Beliau tumbuh dalam asuhan dan pengawasan ibundanya. Di sebuah sekolah di tanah kelahirannya, al-Bukhari kecil pertama kali mempelajari Alquran, disamping belajar baca tulis. Menoleh sejenak kepada awal perjalanan ilmiahnya yang begitu mengesankan, Beliau berkata, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di sekolah. Saat itu usiaku sekitar sepuluh tahun. Hingga aku keluar dari sekolah pada usia sepuluh tahun. Aku mulai belajar kepada ad-Dakhili4 dan juga kepada selainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanadnya dari), ‘Sufyan, dari Abu az-Zubair dari Ibrahim….’ Aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya, Abu az-Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim.” Namun, ia menghardikku. Lantas aku katakan kepadanya, ‘Telitilah kembali kepada asalnya.’ Ia masuk rumah dan menelitinya kembali, kemudian keluar dan bertanya kepadaku, ‘Bagaimanakah (penjelasan) hal itu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘(Yang dimaksud) adalah az-Zubair bin ‘Adi dari Ibrahim.’ Beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya seraya berkata, ‘Engkau benar.’ Kejadian itu terjadi saat aku berusia sebelas tahun.”5 Al-Bukhari mengisahkan pula, “Aku pernah belajar kepada para fuqaha di Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majelis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang di antara mereka bertanya kepadaku, ‘Berapa banyak (hadits) yang telah kau tulis hari ini?’ Aku menjawab, ‘Dua (hadits), dan aku ingin menulis dua hadits lagi.’ Orang-orang yang hadir di majelis itu menertawakanku. Lalu berkatalah salah seorang syaikh di antara mereka, ‘Janganlah kalian menertawakannya, bisa jadi suatu saat justru dia yang menertawakan kalian.’”6

Hasyid bin Ismail dan seorang temannya mengisahkan pula, “Pernah Abu Abdillah Al-Bukhari pergi belajar bersama kami kepada ulama-ulama Bashrah. Saat itu ia masih sangat muda dan ia tidak pernah mencatat. Hingga satu ketika kami menegurnya, ‘Sesungguhnya engkau pergi belajar bersama kami, namun engkau tidak pernah mencatat, apa saja yang engkau kerjakan?’ Enam hari setelah kejadian itu ia berkata kepada kami, ‘Sesungguhnya, kalian berdua telah berulang kali menegurku, sekarang tunjukkanlah apa yang telah kalian catat.’ Kami pun menunjukkan catatan kami kepadanya, dan ia justru menambahkan lima belas ribu hadits lagi pada catatan kami, kemudian membacakan seluruh hadits-hadits tersebut dengan hafalannya. Sehingga justru kami mengoreksi catatan kami (sebelumnya) dengan merujuk kepada hafalannya. Ia berkata kepada kami, ‘Apakah menurut kalian aku pergi untuk sesuatu yang sia-sia dan aku menyia-nyiakan hari-hariku?’ Kami pun tersadar, tidak ada seorangpun yang mampu mengunggulinya.’7 Tentang kehebatan daya hafalnya ini, sepuluh ulama Bashrah pernah sengaja mengujinya. Masing-masing mereka melemparkan pertanyaan kepada Al -ukhari tentang sepuluh hadits yang telah dibolak-balikkan sanad dan matannya. Sehingga semuanya berjumlah seratus hadits. Ternyata beliau mampu mengembalikan sanad serta matan hadits masing-masing ulama tersebut sesuai urutannya yang benar, hanya dengan sekali dengar.8 Sebagaimana yang beliau akui, bahwa beliau mampu menghafal dua ratus ribu hadits shahih, serta dua ratus ribu hadits yang tidak shahih berikut sanad-sanadnya tanpa keliru sedikitpun.

Demikianlah sosok Al-Bukhari. Sejak kecil, cikal bakal ulama serta bakat keilmuannya telah nampak. Pada usia enam belas tahun, beliau telah hafal kitab karangan Imam Waqi’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian menginjak usia tujuh belas tahun, beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya, Muhammad bin Salam Al-Baikandi, untuk mengoreksi karangan-karangannya. Pada usia yang sama, beliau telah menjadi sumber rujukan hadits bagi tokoh-tokoh agama di Bashrah.

Tentunya semua itu tidak beliau peroleh dengan berpangku tangan dan usaha yang sedikit. Selain menimba ilmu dari para ulama di tanah kelahirannya, Beliau juga berulang kali mengembara ke negeri orang untuk memperbanyak perbendaharaan riwayat hadits, di samping untuk bertemu langsung dengan sanad hadits dan menimba ilmu dari ulama di setiap daerah yang ia kunjungi. Di antaranya adalah Khurasan, Balkh, Naisabur, Iraq, Baghdad, Bashrah, Kufah, dan Al-Jazirah (Sungai Eufrat dan Al-Furat). Ketika ia menunaikan haji bersama ibu dan saudaranya, Beliau juga memanfaat momen tersebut untuk menimba ilmu dari ulama Hijaz. Selama enam tahun lamanya, beliau hilir mudik menuntut ilmu di tanah Haram dan daerah sekitarnya. Di sela-sela keberadaannya di tanah Haram, beliau mengarang kitab tarikh-nya (At-Tarikh Al-Kabir) di sisi kubur nabi. Ketika itu umur beliau baru delapan belas tahun. Lalu beliau berpindah ke Mesir, untuk kemudian kembali ke Bukhara. Beliau memanfaatkan kesempatan disela-sela perjalanannya menuju kampung halamannya dengan menimba ilmu dari ulama daerah yang ia lewati, seperti Syam dan Iraq. Hingga tidak mengherankan jika bilangan guru beliau mencapai seribu delapan puluh orang. Di antara ulama yang pernah mengajar beliau adalah Abdullah bin Muhammad Al-Musnadi, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin Salam Al-Baikandi, Abdullah bin Yusuf, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, Abu Nu’aim Al-Fadhl, Muhammad bin Al-Basyar Bundar, Abu ‘Ashim (Adh-Dhahhak), Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dan masih banyak lagi.

Perhatiannya yang sangat besar terhadap hadits nabi, ditunjang dengan intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman beliau yang begitu mendalam tentang makna serta kandungan hadits berikut ‘illat-‘illat9–nya, menjadikan beliau seorang pakar hadits terkemuka sepanjang sejarah. Kelebihan-kelebihan yang melekat pada pribadi beliau ini begitu menarik minat para penuntut ilmu untuk senantiasa menghadiri majelisnya. Di antara murid-murid beliau yang kemudian juga lahir sebagai ulama hadits terkemuka adalah Muslim bin Al-Hajjaj, pengarang Shahih Muslim. Juga Abu Isa At-Tirmidzi, Muhammad bin Yusuf Al-Firabri, Ibrahim Ibnu Ma’qal, Hammad bin Syakir, Ibnu Khuzaimah, Yahya bin Muhammad Shamid, dan Ibnu Abi Ad-Dunya.

Kedalaman dan keluasan ilmu beliau juga terefleksi dalam prilakunya sehari-hari. Beliau adalah teladan dalam ibadah. Selalu larut dalam kegiatan keilmuan. Juga masyhur sebagai ulama berbudi pekerti luhur, sangat wara’ lagi pemaaf, tidak suka menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi. Beliau begitu teliti dan hati-hati dalam bicara. Sampai dalam masalah jarh dan ta’dil seorang rawi yang menurutnya lemah, Beliau tetap memilih kata-kata lembut semisal munkarul hadits, fii haditsihi nazhar, atau sakatuu ‘anhu.10 Sangat jarang beliau menggunakan ungkapan-ungkapan terlalu keras semisal rawi itu seorang pendusta atau pemalsu hadits. Beliau berkata, “Aku berharap menjumpai Allah, dan Ia tidak menghukumku karena aku meng-ghibah seseorang.”11 Inilah puncak kehati-hatian beliau dalam bersikap. Demikian juga yang beliau lakukan ketika mengarang karya emasnya berjudul Al-Jami Al-Musnad Ash-Shahih Min Haditsi Rasulullah Wa Sunanihi Wa Ayyamihi yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari. Tidaklah Beliau memasukkan satu hadits dalam karyanya tersebut, kecuali beliau telah teiliti sanadnya, kemudian beliau shalat dua rakaat setiap kali hendak mencantumkan hadits yang telah lulus seleksinya. Di samping itu, masih banyak karya beliau yang menjadi saksi keluasan ilmu dan keikhlasan beliau, di antaranya At-Tarikh Al-Awsath, Al-Adabul Mufrad, Adh-Dhu’afa Al-Kabir, Adh-Dhu’afa Ash-Shaghir, At-Tafsir Al-Kabir, Aqawiilu Ash-Shahabah.12 Patutlah beliau mendapat banyak pujian dari banyak ulama. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar tentangnya, “Tidak ada seorang pun yang mengunjungi kami dari Khurasan yang semisal dengan Muhammad bin Ismail.” Imam At-Tirmidzi berkata, “Aku belum pernah melihat di Iraq, tidak juga di Khurasan, seseorang yang lebih paham tentang makna illal, juga tarikh, serta pengetahuan tentang sanad hadits dibandingkan dengan Muhammad bin Ismail.” Ibnu Khuzaimah berkata, “Aku belum pernah menjumpai di bawah langit ini, seseorang yang lebih paham dan lebih hafal terhadap hadits nabi daripada Muhammad bin Ismail.”

Namun demikian, kemulian derajat yang beliau peroleh karena keluasan ilmu yang beliau kuasai, tak urung mengundang dengki sebagian orang. Fitnah yang menimpa beliau bermula ketika seorang laki-laki dari Naisabur melontarkan pertanyaan kepada beliau seputar Lafzhu bi Al-Qur’an. Beliau menjawab, “Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba, seluruhnya adalah makhluk.” Jawaban beliau ini disalahpahami oleh sebagian orang yang dengki terhadapnya. Mereka meyebarkan tuduhan terhadanya. Bahkan di antara mereka ada yang mengafirkan beliau. Masalah pelik itu terus meluas. Puncaknya, ketika seorang ulama Naisabur, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, melarang orang-orang menghadiri majelis Al-Bukhari, serta mengabarkan kepada setiap orang yang mengambil riwayat dari beliau tentang kecacatan akidahnya. Hingga orang-orangpun meninggalkannya. Tidak ada seorangpun yang sudi lagi menghadiri majelisnya, kecuali Muslim bin Al-Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Beliau menghadapi ujian itu dengan keteguhan seorang ulama, serta tidak membalas perlakuan buruk orang-orang yang zhalim terhadapnya. Ketika fitnah itu terus berlanjut, hingga beliau merasakan sempitnya bumi yang beliau pijak, beliau berdoa kepada Allah agar menyelamatkan beliau dari ujian tersebut dengan menjemput arwahnya ke sisi-Nya. Sebulan setelah itu beliau wafat di sebuah desa bernama Khartank. Tepatnya pada malam ‘Idul Fitri tahun 254 H. Ketika itu, beliau berumur 62 tahun. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau dengan limpahan rahmat yang luas.

Maraji :

1. Tarikh Baghdad, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin Ali Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi (393-463 H), Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, tanpa cetakan dan tahun

2. Siyar Min A’lamin Nubala, Syamsuddin Adz-Dzahabi (673-748 H), tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Mu’assasah Ar-Risalah, Beirut, cet XI th 1322 H/ 2001 M

3. Taghliq At-Ta’liq, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (773-852 H), tahqiq Said Abdurrahman Musa Al-Qazqi, Al-Maktab Al-Islami, Beirut-Aman, cet I th 1405 H

4. Taisir Mushthalah Al-Hadits, DR. Mahmud Thahan, Maktab Al-Ma’arif, cet IX th 1417 H/ 1996 M

5. Mudzakkirah Al-Hadits Asy-Syarif Kuliyah Asy-Syari’ah, semester I tahun I, Jami’ah Islamiyah Madinah

Penulis: Ustadzah Hanien az-Zarqaa’

____

Catatan kaki:

1 Ada yang mengatakan nama kakek beliau ini adalah Bazduzbah, yang dalam bahasa Bukhara berarti petani. Kakek beliau ini wafat dalam keadaan memeluk agama Majusi.

2 Tentang latar belakang laqab Al-Ju’fi ini, Al-Khatib Al-Baghdadi menjelaskan, “Al-Bukhari digelari dengan Al-Ju’fi, karena kekeknya (yakni Al-Mughirah) masuk Islam dengan perantaraan Yaman Al-Ju’fi, seorang gubernur Bukhara yang tak lain adalah kakek buyut dari guru Imam Al-Bukhari yang bernama Abdullah bin Muhammad Al-Musnadi. Maka, ia dinisbatkan kepada Al-Ju’fi ini (Tarikh Baghdad, 2/6 dengan ringkas). Adz-Dzahabi menambahkan, sebelum masuk Islam Al-Mughirah memeluk agama bapaknya, yakni Majusi. (Siyar A’lamin Nubala,12/392).

3 Satu daerah yang terletak di Khurasan.

4 Ibnu Hajar Al-Asqalani berkomentar tentangnya, “Aku belum mengetahui namanya…. Dan aku kira, ia merupakan nisbat kepada sebuah kota di Naisabur.” Lihat Taghliqut Ta’liq, 5/387.

5 Siyar A’lamin Nubala, 12/393.

6 Siyar A’lamin Nubala, 12/401.

7 Siyar A’lamin Nubala, 12/408.

8 Siyar A’lamin Nubala, 12/409.

9 Faktor rumit dan tersembunyi yang membuat cacat terhadap keshahihan sebuah hadits. (Lihat Taisir Mushthalah Al-Hadits, hal. 35).

10 Munkarul hadits artinya pe-rawi lemah yang menyelisihi pe-rawi lain yang diterima haditsnya, fiihi nazhar menurut Al-Bukhari berarti pe-rawi tersebut tertuduh dan sangat lemah, sakatuu ‘anhu artinya para ulama tidak berkomentar tentangnya.

11 (Siyar A’lamin Nubala, 12/439). Maka bandingkanlah dengan keadaan sebagian kaum muslimin sekarang, yang tidak segan-segan menggelari saudaranya dengan julukan-julukan yang sama sekali keluar dari sikap kesantunan, hanya karena saudaranya itu berbeda pendapat dengannya dalam sebagian masalah furu’ yang masih diperselisihkan para ulama !!!

فاعتبروا يا أولي الأبصار

12 Empat karya beliau yang terakhir masih berbentuk manuskrip dan belum dicetak.

Sumber: https://kisahmuslim.com/

Kisah Al-Bukhari, Seorang Pemimpin Ahli Hadits

Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama yang menempati posisi khusus dalam umat ini. Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan peranan mereka yang begitu besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam. Inilah keistimewaan ulama hadits dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para pembawa panji sunnah Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua setelah Alquran. Sunnah Rasulullah merupakan muara yang padanya setiap cabang ilmu agama akan kembali. Tidak ada satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu agama, yang tidak membutuhkan penjelasan mereka tentang sunnah Rasulullah.

Di antara ulama pewaris ilmu Rasulullah tersebut adalah Al-Imam al-Bukhari. Beliau terhitung sebagai ulama ahlul hadits jajaran terdepan yang hidup pada kurun ketiga hijriyah. Sangat sulit mencari ulama yang setaraf ilmunya dengannya. Bahkan, mayoritas ulama menggelarinya sebagai imam pemimpin ulama hadits lainnya, baik pada masa hidupnya, maupun sepeninggalnya.

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah1 al-Bukhari al-Ju’fi.2 Beliau dilahirkan di Bukhara3 selepas shalat Jumat. Tepatnya pada tanggal 13 Syawal tahun 194 H. Ayah Beliau, Ismail, dikenal sebagai orang yang wara’ lagi bertakwa. Ia sempat menuntut ilmu kepada Imam Malik bin Anas, serta berjumpa dengan Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubarak. Namun sayangnya, Allah tidak menghendaki ia menyaksikan tumbuh kembang putranya hingga menjadi seorang pakar hadits terkemuka. Allah mewafatkannya ketika al-Bukhari masih kecil. Sehingga tidak seperti beberapa ulama lainnya, Imam al-Bukhari tidak sempat merasakan asuhan dan bimbingan keilmuan dari sang ayah, karena statusnya yang yatim. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan tekadnya untuk menuntut ilmu. Beliau tumbuh dalam asuhan dan pengawasan ibundanya. Di sebuah sekolah di tanah kelahirannya, al-Bukhari kecil pertama kali mempelajari Alquran, disamping belajar baca tulis. Menoleh sejenak kepada awal perjalanan ilmiahnya yang begitu mengesankan, Beliau berkata, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di sekolah. Saat itu usiaku sekitar sepuluh tahun. Hingga aku keluar dari sekolah pada usia sepuluh tahun. Aku mulai belajar kepada ad-Dakhili4 dan juga kepada selainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanadnya dari), ‘Sufyan, dari Abu az-Zubair dari Ibrahim….’ Aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya, Abu az-Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim.” Namun, ia menghardikku. Lantas aku katakan kepadanya, ‘Telitilah kembali kepada asalnya.’ Ia masuk rumah dan menelitinya kembali, kemudian keluar dan bertanya kepadaku, ‘Bagaimanakah (penjelasan) hal itu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘(Yang dimaksud) adalah az-Zubair bin ‘Adi dari Ibrahim.’ Beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya seraya berkata, ‘Engkau benar.’ Kejadian itu terjadi saat aku berusia sebelas tahun.”5 Al-Bukhari mengisahkan pula, “Aku pernah belajar kepada para fuqaha di Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majelis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang di antara mereka bertanya kepadaku, ‘Berapa banyak (hadits) yang telah kau tulis hari ini?’ Aku menjawab, ‘Dua (hadits), dan aku ingin menulis dua hadits lagi.’ Orang-orang yang hadir di majelis itu menertawakanku. Lalu berkatalah salah seorang syaikh di antara mereka, ‘Janganlah kalian menertawakannya, bisa jadi suatu saat justru dia yang menertawakan kalian.’”6

Hasyid bin Ismail dan seorang temannya mengisahkan pula, “Pernah Abu Abdillah Al-Bukhari pergi belajar bersama kami kepada ulama-ulama Bashrah. Saat itu ia masih sangat muda dan ia tidak pernah mencatat. Hingga satu ketika kami menegurnya, ‘Sesungguhnya engkau pergi belajar bersama kami, namun engkau tidak pernah mencatat, apa saja yang engkau kerjakan?’ Enam hari setelah kejadian itu ia berkata kepada kami, ‘Sesungguhnya, kalian berdua telah berulang kali menegurku, sekarang tunjukkanlah apa yang telah kalian catat.’ Kami pun menunjukkan catatan kami kepadanya, dan ia justru menambahkan lima belas ribu hadits lagi pada catatan kami, kemudian membacakan seluruh hadits-hadits tersebut dengan hafalannya. Sehingga justru kami mengoreksi catatan kami (sebelumnya) dengan merujuk kepada hafalannya. Ia berkata kepada kami, ‘Apakah menurut kalian aku pergi untuk sesuatu yang sia-sia dan aku menyia-nyiakan hari-hariku?’ Kami pun tersadar, tidak ada seorangpun yang mampu mengunggulinya.’7 Tentang kehebatan daya hafalnya ini, sepuluh ulama Bashrah pernah sengaja mengujinya. Masing-masing mereka melemparkan pertanyaan kepada Al -ukhari tentang sepuluh hadits yang telah dibolak-balikkan sanad dan matannya. Sehingga semuanya berjumlah seratus hadits. Ternyata beliau mampu mengembalikan sanad serta matan hadits masing-masing ulama tersebut sesuai urutannya yang benar, hanya dengan sekali dengar.8 Sebagaimana yang beliau akui, bahwa beliau mampu menghafal dua ratus ribu hadits shahih, serta dua ratus ribu hadits yang tidak shahih berikut sanad-sanadnya tanpa keliru sedikitpun.

Demikianlah sosok Al-Bukhari. Sejak kecil, cikal bakal ulama serta bakat keilmuannya telah nampak. Pada usia enam belas tahun, beliau telah hafal kitab karangan Imam Waqi’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian menginjak usia tujuh belas tahun, beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya, Muhammad bin Salam Al-Baikandi, untuk mengoreksi karangan-karangannya. Pada usia yang sama, beliau telah menjadi sumber rujukan hadits bagi tokoh-tokoh agama di Bashrah.

Tentunya semua itu tidak beliau peroleh dengan berpangku tangan dan usaha yang sedikit. Selain menimba ilmu dari para ulama di tanah kelahirannya, Beliau juga berulang kali mengembara ke negeri orang untuk memperbanyak perbendaharaan riwayat hadits, di samping untuk bertemu langsung dengan sanad hadits dan menimba ilmu dari ulama di setiap daerah yang ia kunjungi. Di antaranya adalah Khurasan, Balkh, Naisabur, Iraq, Baghdad, Bashrah, Kufah, dan Al-Jazirah (Sungai Eufrat dan Al-Furat). Ketika ia menunaikan haji bersama ibu dan saudaranya, Beliau juga memanfaat momen tersebut untuk menimba ilmu dari ulama Hijaz. Selama enam tahun lamanya, beliau hilir mudik menuntut ilmu di tanah Haram dan daerah sekitarnya. Di sela-sela keberadaannya di tanah Haram, beliau mengarang kitab tarikh-nya (At-Tarikh Al-Kabir) di sisi kubur nabi. Ketika itu umur beliau baru delapan belas tahun. Lalu beliau berpindah ke Mesir, untuk kemudian kembali ke Bukhara. Beliau memanfaatkan kesempatan disela-sela perjalanannya menuju kampung halamannya dengan menimba ilmu dari ulama daerah yang ia lewati, seperti Syam dan Iraq. Hingga tidak mengherankan jika bilangan guru beliau mencapai seribu delapan puluh orang. Di antara ulama yang pernah mengajar beliau adalah Abdullah bin Muhammad Al-Musnadi, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin Salam Al-Baikandi, Abdullah bin Yusuf, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, Abu Nu’aim Al-Fadhl, Muhammad bin Al-Basyar Bundar, Abu ‘Ashim (Adh-Dhahhak), Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dan masih banyak lagi.

Perhatiannya yang sangat besar terhadap hadits nabi, ditunjang dengan intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman beliau yang begitu mendalam tentang makna serta kandungan hadits berikut ‘illat-‘illat9–nya, menjadikan beliau seorang pakar hadits terkemuka sepanjang sejarah. Kelebihan-kelebihan yang melekat pada pribadi beliau ini begitu menarik minat para penuntut ilmu untuk senantiasa menghadiri majelisnya. Di antara murid-murid beliau yang kemudian juga lahir sebagai ulama hadits terkemuka adalah Muslim bin Al-Hajjaj, pengarang Shahih Muslim. Juga Abu Isa At-Tirmidzi, Muhammad bin Yusuf Al-Firabri, Ibrahim Ibnu Ma’qal, Hammad bin Syakir, Ibnu Khuzaimah, Yahya bin Muhammad Shamid, dan Ibnu Abi Ad-Dunya.

Kedalaman dan keluasan ilmu beliau juga terefleksi dalam prilakunya sehari-hari. Beliau adalah teladan dalam ibadah. Selalu larut dalam kegiatan keilmuan. Juga masyhur sebagai ulama berbudi pekerti luhur, sangat wara’ lagi pemaaf, tidak suka menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi. Beliau begitu teliti dan hati-hati dalam bicara. Sampai dalam masalah jarh dan ta’dil seorang rawi yang menurutnya lemah, Beliau tetap memilih kata-kata lembut semisal munkarul hadits, fii haditsihi nazhar, atau sakatuu ‘anhu.10 Sangat jarang beliau menggunakan ungkapan-ungkapan terlalu keras semisal rawi itu seorang pendusta atau pemalsu hadits. Beliau berkata, “Aku berharap menjumpai Allah, dan Ia tidak menghukumku karena aku meng-ghibah seseorang.”11 Inilah puncak kehati-hatian beliau dalam bersikap. Demikian juga yang beliau lakukan ketika mengarang karya emasnya berjudul Al-Jami Al-Musnad Ash-Shahih Min Haditsi Rasulullah Wa Sunanihi Wa Ayyamihi yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari. Tidaklah Beliau memasukkan satu hadits dalam karyanya tersebut, kecuali beliau telah teiliti sanadnya, kemudian beliau shalat dua rakaat setiap kali hendak mencantumkan hadits yang telah lulus seleksinya. Di samping itu, masih banyak karya beliau yang menjadi saksi keluasan ilmu dan keikhlasan beliau, di antaranya At-Tarikh Al-Awsath, Al-Adabul Mufrad, Adh-Dhu’afa Al-Kabir, Adh-Dhu’afa Ash-Shaghir, At-Tafsir Al-Kabir, Aqawiilu Ash-Shahabah.12 Patutlah beliau mendapat banyak pujian dari banyak ulama. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar tentangnya, “Tidak ada seorang pun yang mengunjungi kami dari Khurasan yang semisal dengan Muhammad bin Ismail.” Imam At-Tirmidzi berkata, “Aku belum pernah melihat di Iraq, tidak juga di Khurasan, seseorang yang lebih paham tentang makna illal, juga tarikh, serta pengetahuan tentang sanad hadits dibandingkan dengan Muhammad bin Ismail.” Ibnu Khuzaimah berkata, “Aku belum pernah menjumpai di bawah langit ini, seseorang yang lebih paham dan lebih hafal terhadap hadits nabi daripada Muhammad bin Ismail.”

Namun demikian, kemulian derajat yang beliau peroleh karena keluasan ilmu yang beliau kuasai, tak urung mengundang dengki sebagian orang. Fitnah yang menimpa beliau bermula ketika seorang laki-laki dari Naisabur melontarkan pertanyaan kepada beliau seputar Lafzhu bi Al-Qur’an. Beliau menjawab, “Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba, seluruhnya adalah makhluk.” Jawaban beliau ini disalahpahami oleh sebagian orang yang dengki terhadapnya. Mereka meyebarkan tuduhan terhadanya. Bahkan di antara mereka ada yang mengafirkan beliau. Masalah pelik itu terus meluas. Puncaknya, ketika seorang ulama Naisabur, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, melarang orang-orang menghadiri majelis Al-Bukhari, serta mengabarkan kepada setiap orang yang mengambil riwayat dari beliau tentang kecacatan akidahnya. Hingga orang-orangpun meninggalkannya. Tidak ada seorangpun yang sudi lagi menghadiri majelisnya, kecuali Muslim bin Al-Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Beliau menghadapi ujian itu dengan keteguhan seorang ulama, serta tidak membalas perlakuan buruk orang-orang yang zhalim terhadapnya. Ketika fitnah itu terus berlanjut, hingga beliau merasakan sempitnya bumi yang beliau pijak, beliau berdoa kepada Allah agar menyelamatkan beliau dari ujian tersebut dengan menjemput arwahnya ke sisi-Nya. Sebulan setelah itu beliau wafat di sebuah desa bernama Khartank. Tepatnya pada malam ‘Idul Fitri tahun 254 H. Ketika itu, beliau berumur 62 tahun. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau dengan limpahan rahmat yang luas.#

____

Maraji :

1. Tarikh Baghdad, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin Ali Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi (393-463 H), Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, tanpa cetakan dan tahun

2. Siyar Min A’lamin Nubala, Syamsuddin Adz-Dzahabi (673-748 H), tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Mu’assasah Ar-Risalah, Beirut, cet XI th 1322 H/ 2001 M

3. Taghliq At-Ta’liq, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (773-852 H), tahqiq Said Abdurrahman Musa Al-Qazqi, Al-Maktab Al-Islami, Beirut-Aman, cet I th 1405 H

4. Taisir Mushthalah Al-Hadits, DR. Mahmud Thahan, Maktab Al-Ma’arif, cet IX th 1417 H/ 1996 M

5. Mudzakkirah Al-Hadits Asy-Syarif Kuliyah Asy-Syari’ah, semester I tahun I, Jami’ah Islamiyah Madinah

Penulis: Ustadzah Hanien az-Zarqaa’

____

Catatan kaki:

1 Ada yang mengatakan nama kakek beliau ini adalah Bazduzbah, yang dalam bahasa Bukhara berarti petani. Kakek beliau ini wafat dalam keadaan memeluk agama Majusi.

2 Tentang latar belakang laqab Al-Ju’fi ini, Al-Khatib Al-Baghdadi menjelaskan, “Al-Bukhari digelari dengan Al-Ju’fi, karena kekeknya (yakni Al-Mughirah) masuk Islam dengan perantaraan Yaman Al-Ju’fi, seorang gubernur Bukhara yang tak lain adalah kakek buyut dari guru Imam Al-Bukhari yang bernama Abdullah bin Muhammad Al-Musnadi. Maka, ia dinisbatkan kepada Al-Ju’fi ini (Tarikh Baghdad, 2/6 dengan ringkas). Adz-Dzahabi menambahkan, sebelum masuk Islam Al-Mughirah memeluk agama bapaknya, yakni Majusi. (Siyar A’lamin Nubala,12/392).

3 Satu daerah yang terletak di Khurasan.

4 Ibnu Hajar Al-Asqalani berkomentar tentangnya, “Aku belum mengetahui namanya…. Dan aku kira, ia merupakan nisbat kepada sebuah kota di Naisabur.” Lihat Taghliqut Ta’liq, 5/387.

5 Siyar A’lamin Nubala, 12/393.

6 Siyar A’lamin Nubala, 12/401.

7 Siyar A’lamin Nubala, 12/408.

8 Siyar A’lamin Nubala, 12/409.

9 Faktor rumit dan tersembunyi yang membuat cacat terhadap keshahihan sebuah hadits. (Lihat Taisir Mushthalah Al-Hadits, hal. 35).

10 Munkarul hadits artinya pe-rawi lemah yang menyelisihi pe-rawi lain yang diterima haditsnya, fiihi nazhar menurut Al-Bukhari berarti pe-rawi tersebut tertuduh dan sangat lemah, sakatuu ‘anhu artinya para ulama tidak berkomentar tentangnya.

11 (Siyar A’lamin Nubala, 12/439). Maka bandingkanlah dengan keadaan sebagian kaum muslimin sekarang, yang tidak segan-segan menggelari saudaranya dengan julukan-julukan yang sama sekali keluar dari sikap kesantunan, hanya karena saudaranya itu berbeda pendapat dengannya dalam sebagian masalah furu’ yang masih diperselisihkan para ulama !!!

فاعتبروا يا أولي الأبصار

Sumber: https://kisahmuslim.com/