Type Here to Get Search Results !

 


BIOGRAFI IMAM HASAN AL-BASRI

Beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan bin Abil Hasan al-Bashri, salah satu imam tabi’in terkemuka yang ucapan hikmahnya menyerupai perkataan seorang nabi, seorang yang kafah dan rupawan yang telah menghabiskan seluruh umurnya untuk ilmu dan amal.

Nama ayah beliau adalah al-Yasar maula Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu sahabat pilihan dan penulis wahyu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, ibu beliau adalah Khoiroh maula Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau lahir di masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, tepatnya dua tahun terakhir beliau menjadi khalifah.

Kelahiran al-Hasan sangat menggembirakan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahkan sang ibunda (Khoiroh) menyerahkan kepada Ummu Salamah radhiallahu ‘anha untuk memberikan nama pada anaknya. Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu pun memberi nama dengan nama yang beliau senangi, al-Hasan. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha begitu sangat mencintai al-Hasan sehingga takala sang ibu keluar untuk memenuhi hajat ummul mukminin, maka beliaulah yang mengasuh, mendiamkan tangisnya bila ia menangis, bahkan ia menyusuinya. Karena besarnya kasih sayang Ummu Salamah radhiallahu ‘anha kepada al-Hasan hingga air susunya keluar membasahi kerongkongannya sehingga Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menjadi ibu susuan al-Hasan setelah sebelumnya ia adalah ibu bagi seluruh kaum muslimin. Maka tinggallah ia di bawah kepengasuhan. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling banyak ilmunya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kurang lebih sebanyak 387 hadis telah ia hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang wanita yang mampu baca tulis sejak masa jahiliah sehingga al-Hasan kelak akan menjadi seorang pemuda yang gagah, rupawan, dan pemberani yang akan mewarisi warisan nubuwwah berupa ilmu dan amal.

Demikian pula kegembiraan itu tampak pada keluarga Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu karena al-Yasar adalah orang yang sangat ia cintai.

Setelah al-Hasan mencapai usia baligh, ia dan keluarganya pindah ke Bashrah sehingga ia dikenal sebagai al-Hasan al-Bashri.

Al-Imam AAdz-Dzahabi berkata, “Al-Hasan adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan pemberani.”

Pujian Ulama Kepada Hasan al-Bashri

Setelah al-Hasan tumbuh menjadi seorang pemuda. Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kecerdasan kepadanya, maka beliau menimba ilmu kepada para sahabat kibar (senior) seperti Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan sejumlah sahabat kibar lainnya radhiallahu ‘anhum. Dengan kemapanan ilmu dan kesungguhan dalam ibadah hal itu semakin menambah keutamaan bagi al-Hasan. Sehingga tidak heran bila Qotadah mengatakan, “Al-Hasan adalah orang yang paling mengetahui tentang halal dan haram.”

Abu Burdah berkata, “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih serupa dengan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding beliau.”

Humaid bin Hilal berkata, “Suatu hari Abu Qotadah berwasiat kepada kami, “Tekunilah Syaikh ini, karena aku tidak melihat seorang yang pendapat-pendapatnya lebih mirip dengan pendapatnya Umar selain beliau.”

Anas bin Malik berkata, “Bertanyalah kalian kepada al-Hasan, karena beliau selalu ingat tatkala kami lupa.”

Potret Ibadah Beliau

Ibrahim bin Isa al-Yaskuri berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang selalu berada dalam kesedihan (takut akhirat ed.) kecuali al-Hasan. Aku tidak melihatnya melainkan seperti seorang yang baru terkena musibah.”

As-Surri bin Yahya berkata, “Adalah al-Hasan selalu berpuasa bidh, puasa pada bulan-bulan haram (mulia), demikian juga puasa Senin dan Kamis.”

Dari Syu’aib ia berkata, “Aku pernah melihat al-Hasan tengah membaca Alquran sedang ia menangis sampai mengalir air matanya membasahi jenggotnya.”

Sikap Beliau Terhadap Fitnah

Di kala itu, kepemimpinan kaum muslimin jatuh ke tangan seorang pemimpin zalim, al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Karena kezalimannya banyak kaum muslimin yang dibunuh secara zalim. Sebagian orang tidak sabar melihat kekejaman dan kezaliman pemimpin mereka itu di saat mereka seharusnya memberikan ketaatannya kepada kholifah kaum muslimin. Di antara mereka adalah sebagian kelompok yang dipimpin oeh Ibnu Asy’ats yang tengah merekrut dan menyusun kekuatan untuk mengkudeta pemimpin mereka al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Di tengah gejolak fitnah besar yang merata semacam itu, seorang muslim akan diuji siapakah di antara mereka yang tetap berada dalam jalan selamat yang ditunjukkan oleh syariat dan tampaklah orang-orang yang tidak sabar lalu meninggalkan syariat. Oleh karena itu, mari kita menimba ilmu dari seorang alim tabi’in tentang bagaimana sikap seorang muslim dalam menghadapi fitnah.

Dari Sulaiman bin Ali ar-Rab’i ia berkata, “Tatkala terjadi fitnah Ibnu Asy’ats yang hendak meemrangi al-Hajjaj, pergilah Uqbah bin Abdil Ghafir, Abul Jauza, dan Abdullah bin Ghlalib untuk menemui al-Hasan dan meminta fatwa kepada beliau. Mereka memerangi seorang thaghut ini (al-Hajjaj bin Yusuf, pen.) yang telah menumpahkan darah yang haram untuk ditumpahkan, dan merampas harta yang haram untuk dirampas, telah meninggalkan shalat, dan telah melakukan ini dan itu…’ (Mereka menyebutkan semua tindak-tanduk dari al-Hajjaj bin Yusuf). Lalu al-Hasan berkata, ‘Namun, aku berpendapat kalian jangan memeranginya. Karena kalaulah ia adalah suatu hukuman untuk kalian, maka sekali-kali kalian tidak akan mampu menolak hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pedang-pedang kalian, namun bila ia adalah musibah dan ujian untuk kalian, maka bersabarlah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hukum kepada kalian dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik yang memutuskan hukum.’ Namun, mereka tidak menggubris perkataan al-Hasan bahkan mengatakan, ‘Apakah kita akan menaati perkataan keledai liar itu..!? (Hajaj)’ Mereka pun tetap nekad keluar bersama Ibnu Asy’ats hingga akhirnya mereka terbunuh semua.”

Beliau juga mengatakan, “Seandainya manusia tatkala diuji dari sisi pemimpinnya mereka mau bersabar, tentu mereka akan mendapat jalan keluarnya. Namun, mereka begitu tergesa-gesa menghunus pedang-pedang mereka. Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah mereka datang dengan membawa kebaikan.”

Beberapa Perkataan Mutiara Hasan al-Bashri

Dari Imran bin Khalid bahwa al-Hasan radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Mukmin yang sesungguhnya adalah yang selalu merasa sedih baik di kala pagi maupun sore, karena dia akan selalu di antara dua rasa takut, antara dosa yang sebelumya telah ia perbuat sedang ia tidak atahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala akan perbuat kepadanya dan ajal yang akan menjemputnya yang juga ia tidak tahu apa yang akan menimpanya dari kebinasaan.”

Dari Hazm bin Abi Hazm ia mengatakan, “Aku pernah mendengar al-Hasan berkata, ‘Sungguh jelek dua sahabat ini yaitu dinar dan dirham, karena keduanya tidak akan memberi manfaat kepadamu sampai keduanya berpisah darimu’.”

Beliau juga mengatakan, “Tidaklah seorang yang memuliakan dirham kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakannya.”

Dari Zuraik bin Abi Zuraik ia berkata bahwa al-Hasan pernah mengatakan, “Sesungguhnya fitnah apabila datang maka akan diketahui oleh setiap yang alim dan apabila ia lenyap baru diketahui oleh setiap yang jahil.”

Wafatnya Beliau

Dari Abdul Wahid bin Maimun maulah Urwah bin Zubair radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Datang seorang kepada Ibnu Sirin seraya mengatakan, ‘Aku bermimpi melihat seekor burung mengambil kerikilnya al-Hasan di masjid.’ Lalu Ibnu Sirin berkata, ‘Seandainya yang kamu ucapkan benar maka berarti al-Hasan akan meninggal dunia.’ Tidak berselang lama lalu meninggallah al-Hasan.”

Dari Hisyam bin Hassan, “Kami sedang duduk-duduk bersama Muhammad bin Sirin pada sore hari di hari Kamis. Tiba-tiba datang seorang laki-laki selepas shalat Asar seraya mengabarkan bahwa al-Hasan telah meninggal dunia, maka Muhammad bin Sirin mendoakannya dan sepontan raut mukanya berubah kemudian diam seribu basaha. Beliau tidak berbicara sampai tenggelam matahari.”

Al-Hasan al-Bashri meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 110 H dalam usia 88 tahun. Jenazahnya disaksikan oleh semua orang. Ia dishalatkan setelah selesainya shalat Jumat di Bashrah, dan orang-orang berdesak-desakan sampai-sampai shalat Asar tidak ditegakkan di masjid jami’ tersebut.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati al-Hasan al-Bashri dengan rahmat yang luas dan memasukkan kita semuanya ke surga-Nya yang tinggi yang buah-buahnya begitu dekat untuk diraih. Amin.

Mutiara Teladan

Beberapa teladan yang dapat kita petik dari imam besar ini di antaranya.

    Kegagahan dan ketampanan serta nasab bukanlah tolok ukur keutamaan seseorang. Ketakwaan, ilmu, dan amal seseorang itulah yang menjadi landasan penilaian keutamaan.

    Kewajiban rakyat adalah tetap wajib menaati pemimpinnya, sekalipun mereka berbuat zalim kepada kita, selama mereka tetap muslim dan melaksanakan shalat, karena hal itu membawa maslahat yang lebih umum, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada umatnya dalam mengahdapi pemimpin yang zalim: “Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat kepada pemimpin sekalipun ia menzalimimu dan mengambil hartamu, maka tetaplah kalian wajib mendengar dan menaatinya,” (HR. Muslim)

    Sikap seorang mukmin tatkala terjadi fitnah adalah bersikap wara’ dan menjauhkan diri dari fitnah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita tentang hal ini dalam sabdanya,

“Sesungguhnya akan terjadi fitnah, orang yang duduk lebih utama dari orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, dan orang yang berjalan masih lebih baik dari yang memiliki andi di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi: 4/486)

Maka jalan yang selamat tatkala terjadi fitnah adalah berusaha menjauhkan diri dari fitnah sejauh-jauhnya dan jangan sekali-kali menceburkan diri dalam fitnah tersebut karena hal itu berarti kebinasaan. Wallahul muwaffiq.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Kesebelas 1432 H

Sumber Pertama

Telah datang berita gembira kepada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Salamah, bahwa budaknya yang bernama Khairah telah melahirkan seorang bayi laki-laki.

Ummul Mukminin hanyut dalam kegembiraan dan wajahnya tampak ceria dan berseri-seri. Dia mengutus seseorang untuk membawa ibu dan bayinya ke rumah selama masa-masa pemulihan pasca melahirkan. Khairah adalah budak yang paling beliau sayangi dan beliau telah rindu menantikan kelahiran bayi pertama dari budaknya itu.

Tak lama setelah itu Khairah pun datang dengan bayi di gendongannya. Ketika Ummu Salamah memandangnya, beliau langsung menyukai bayi itu karena wajahnya yang tampan dan cerah, menarik hati siapapun yang memandangnya.

Ummu Salamah bertanya kepada budaknya: “Sudahkah engkau memberikan nama untuknya wahai Khairah?” Khairah menjawab: “Belum, aku ingin Anda-lah yang memilihkan nama untuknya sesuka Anda.”

Ummu Salamah berkata, “Kita akan memberi nama yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Hasan.” Lalu beliau mengangkat tangannya untuk mendoakan kebaikan bagi sang bayi.

Kebahagiaan atas kelahiran Hasan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga Ummul Mukminin Ummu Salamah saja. Namun juga dirasakan oleh seisi rumah di Madinah, yaitu di rumah sahabat utama yang juga penulis wahyu Rasulullah, Zaid bin Tsabit. Sebab ayah si bayi, yakni Yasaar, adalah budak Zaid bin Tsabit yang paling disayangi dan diutamakan di antara budak yang lain.

Hasan bin Yassar (yang pada akhirnya lebih terkenal dengan sebutan Hasan al-Bashri) tumbuh di salah satu rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, besar di pangkuan salah satu istri beliau, yaitu Hindun binti Suhail yang lebih sering dipanggil dengan Ummu Salamah.

Adapun Ummu Salamah –kalau pembaca belum tahu- adalah seorang wanita Arab yang termasuk paling sempurna akalnya, banyak keutamaannya, dan teguh pendiriannya. Beliau juga termasuk istri nabi yang paling luas pengetahuannya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Beliau meriwayatkan sebanyak 387 hadis. Beliau juga termasuk dari sedikit bilangan wanita di masa jahiliyah yang mampu baca-tulis.

Hubungan bayi yang beruntung itu dengan Ummu Salamah tidak hanya sebatas itu. Lebih jauh lagi, karena seringkali ibunda beliau, Khairah, harus keluar dari rumah untuk mengurus kebutuhan Ummul Mukminin sehingga harus meninggalkan bayinya. Bila sang bayi menangis karena lapar, maka Ummul Mukminin meletakkan bayi itu di pangkuannya, lalu disusui supaya diam. Karena rasa cintanya terhadap bayi itu, Ummul Mukminin bisa mengeluarkan air susu yang kemudian diminum oleh si bayi hingga merasakan kenyang dan diam dari tangisnya. Dengan demikian, kedudukan Ummu Salamah bagi Hasan al-Bashri adalah sebagai ibu dalam dua sisi. Pertama karena Hasan al-Bashri adalah seorang dari mukminin sedang Ummu Salamah adalah Ummul Mukminin. Kedua Ummu Salamah adalah ibu susuan bagi beliau.

Anak ini meraih kesempatan emas untuk bergaul dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab rumah-rumah mereka berdekatan sehingga ia bisa bermain dari satu rumah ke rumah yang lain. Sudah barang tentu akhlak beliau terwarnai oleh para penghuni rumah itu dan mendapatkan bimbingan dari mereka.

Seperti yang diceritakan oleh Hasan al-Bashri sendiri, dia mengisi rumah Ummul Mukminin dengan ketangkasannya yang menyenangkan. Sering dia naik ke atap rumah lalu berpindah-pindah dengan lincahnya.

Hasan dibesarkan dalam suasana yang diterangi oleh cahaya nubuwah dan meneguk sumber air jernih (ilmu) yang tersedia di rumah-rumah ummahatul mukminin. Beliau juga berguru kepada sahabat-sahabat utama di Masjid Nabawi. Beliau meriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah dan lain-lain.

Meski demikian, kekaguman yang paling menonjol jatuh kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dia mengagumi keteguhan agamanya, ketekunan ibadahnya, kezuhudannya terhadap kesenangan dunia, kefasihan lidahnya, hikmah-hikmahnya yang berkesan di hatinya, kemantapan tutur katanya dan nasihat-nasihatnya yang menggetarkan hati. Sehingga beliau berusaha berakhlak dengannya dalam hal takwa dan ibadah serta mengikuti jejaknya dalam memberikan keterangan dan kefasihan bahasanya.

Menginjak usia 14 tahun, ketika memasuki usia remaja, beliau berpindah bersama kedua orang tuanya ke Bashrah dan menetap di sana. Dari sinilah muncul julukan al-Bashri, yang dinisbahkan pada kota Bashrah. Lalu keutamaan beliau mulai dikenal orang-orang di Bashrah.

Di saat Hasan al-Bashri menjadi imam, kota Bashrah merupakan benteng Islam yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Masjidnya yang agung penuh dengan para sahabat dan tabi’in yang hijrah ke sana dan halaqah-halaqah keilmuan dengan beraneka ragam dan coraknya memakmurkan masjid-masjid dan suraunya.

Hasan al-Bashri tinggal di masjid itu dan menekuni halaqah Abdullah bin Abbas, Habru umati Muhammad (Ustadnya umat Muhammad). Dia mengambil pelajaran tafsir, hadis, qiraah, fiqh, adab, bahasa dan sebagainya. Hingga beliau menjadi seorang ulama besar dan fuqaha yang terpercaya.

Maka, umat banyak menggali ilmunya, mendantangi majelisnya serta mendengarkan ceramahnya yang mampu melunakkan jiwa-jiwa yang keras dan mencucurkan air mata orang-orang yang terlanjur berbuat dosa. Banyak orang terpikat dengan hikmahnya yang mempesona.

Nama Hasan al-Bashri telah menyebar di seluruh daerah dan dikenal di mana-mana.

Para gubernur dan khalifah menanyakan dan mengikuti beritanya.

Khalid bin Shafwan bercerita. “Aku bertemu dengan Maslamah bin Abdul Malik di daerah Hirah, beliau berkata, ‘Wahai Khalid, ceritakan kepadaku tentang Hasan al-Bashri, aku rasa engkau lebih mengenalnya dari yang lain.”

Aku berkata, “Semoga Allah menjaga Anda. Saya sebaik-baik orang yang akan memberikan keterangan tentang Hasan al-Bashri wahai Amir, karena saya adalah tetangga sekaligus muridnya yang setia. Saya lebih mengenal beliau daripada orang Bashrah lainnya’.”

Beliau berkata, “Ceritakan apa yang Anda ketahui tentangnya.” Saya berkata, ‘Beliau adalah orang yang hatinya sama dengan lahiriyahnya, perkataannya serasi dengan perbuatannya. Jika menyuruh perkara yang ma’ruf, maka beliau pula yang paling sanggup melakukannya. Jika melarang yang mungkar, beliau pula yang paling mampu meninggalkannya. Saya mendapatinya sebagai orang yang tidak memerlukan pemberian; dan zuhud terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Sebaliknya saya dapati betapa orang-orang memerlukan dan menginginkan apa yang dimilikinya.”

Maslamah berkata, “Cukup wahai Khalid, cukup. Bagaimana kaum itu bisa sesat, bila ada orang semisal dia di tengah-tengah mereka?”

Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berkuasa di Irak, bertindak sewenang-wenang dan kejam di wilayahnya, Hasan al-Bashri adalah termasuk dalam bilangan sedikit orang yang berani menentang dan mengecam keras akan kezaliman penguasa itu secara terang-terangan.

Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk dirinya di kota Wasit. Ketika pembangunan selesai, diundangnya orang-orang untuk melihat dan mendoakannya. Hasan al-Bashri tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik di mana banyak orang sedang berkumpul. Dia tampil memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar bersikap zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Begitulah, ketika Hasan al-Bashri tiba di tempat itu dan melihat begitu banyak orang-orang mengelilingi istana yang megah dan indah dengan halamannya yang luas, beliau berdiri untuk berkhutbah. Di antara yang beliau sampaikan adalah: “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir’aun yang membangun istana yang lebih besar dan lebih megah daripada bangunan ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj bahwa penghuni langit telah membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya…”

Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang mengkhawatirkan keselamatannya dan memintanya berhenti: “Cukup Wahai Abu Sa’id, cukup.”

Namun Hasan al-Bashri berkata, “Wahai saudaraku, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran kepada manusia dan tak boleh menyembunyikannya.”

Keesokan harinya Hajjaj menghadiri pertemuan bersama para pejabatnya dengan memendam amarah dan berkata keras: “Celakalah kalian! Seorang dari budak-budak Basrah itu memaki-maki kita dengan seenaknya dan tak seorang pun dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan darahnya kepada kalian wahai para pengecut!”

Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan pedang beserta algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al-Basri.

Dibawalah Hasan al-Basri, semua mata mengarah kepadanya dan hati mulai berdebar menunggu nasibnya. Begitu Hasan al-Basri melihat algojo dan pedangnya yang terhunus dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan seorang muslim, dan kehormatan seorang da’i di jalan Allah.

Demi melihat ketegaran yang demikian, mental Hajjaj menjadi ciut. Terpengaruh oleh wibawa Hasan al-Basri, dia berkata ramah: “Silahkan duduk di sini wahai Abu  Sa’id, silahkan..”

Seluruh yang hadir menjadi bengong dan terheran-heran melihat perilaku amirnya yang mempersilahkan Hasan al-Basri duduk di kursinya. Sementara itu, dengan tenang dan penuh waibawa Hasan al-Basri duduk di tempat yang disediakan. Hajjaj menoleh kepadanya lalu menanyakan berbagai masalah agama, dan dijawab Hasan al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik dan mencerminkan pengetahuannya yang luas.

Merasa cukup dengan pertanyaan yang diajukan, Hajjaj berkata, “Wahai Abu Sa’id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat.” Dia semprotkan minyak ke jenggot Hasan al-Basri lalu diantarkan sampai di depan pintu.

Sesampainya di luar istana, pengawal yang mengikuti Hasan al-Basri berkata, “Wahai Abu Sa’id sesungguhnya Hajjaj memanggil Anda untuk suatu urusan yang lain. Ketika Anda masuk dan melihat algojo dengan pedangnya yang terhunus, saya lihat Anda membaca sesuatu, apa sebenarnya yang Anda lalukan ketika itu?”

Beliau berkata, (Aku berdoa) “Wahai Yang Maha Melindungi dan tempatku bersandar dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”

Kejadian serupa sering dialami Hasan al-Basri berhubungan dengan para wali negeri dan amir, di mana beliau selalu lolos dari setiap kesulitan tanpa menjatuhkan wibawanya di mata para penguasa tersebut dengan lindungan dan pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setelah wafatnya khalifah yang zuhud Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan beralih ke tangan Yazid bin Abdul Malik. Khalifah baru ini mengangkat Umar bin Hubairah al-Faraqi sebagai gubernur Irak sampai Khurasan. Yazid ditengarai telah berjalan tidak seperti jalannya kaum salaf yang agung. Dia senantiasa mengirim surat kepada walinya, Umar bin Hubairah agar melaksanakan perintah-perintah yang ada kalanya melenceng dari kebenaran.

Untuk memecahkan problem itu, Umar bin Hubairah memanggil para ulama di antaranya asy-Sya’bi dan Hasan al-Basri. Dia berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik telah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai khalifah atas hamba-hamba-Nya. Sehingga wajib ditaati dan aku diangkat sebagai walinya di negeri Irak sampai kupandang tidak adil. Dalam keadaan yang demikian, bisakah kalian memberikan jalan keluar untukku, apakah aku harus menaati perintah-perintahnya yang bertentangan dengan agama?”

Asy-Sya’bi menjawab dengan jawaban yang lunak dan sesuai dengan jalan pikiran pemimpinnya itu, sedangkan Hasan al-Basri tidak berkomentar sehingga Umar menoleh kepadanya dan bertanya, “Wahai Abu Sa’id, bagaimana pendapatmu?”

Beliau berkata, “Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah atas Yazid dan jangan takut kepada Yazid karena Allah. Sebab ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa menyelamatkanmu dari Yazid, sedangkan Yazid tak mampu menyelamatkanmu dari murka Allah. Wahai Ibnu Hubairah, aku khawatir akan datang kepadamu malaikat maut yang keras dan tak pernah menentang perintah Rabb-nya lalu memindahkanmu dari istana yang luas ini menuju liang kubur yang sempit. Di situ engkau tidak akan bertemu dengan Yazid. Yang kau jumpai hanyalah amalmu yang tidak sesuai dengan perintah Rabb-mu dan Rabb Yazid.”

“Wahai Ibnu Hubairah, bila engkau bersandar kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka Dia akan menahan segala kejahatan Yazid bin Abdul Malik atasmu di dunia dan akhirat. Namun jika engkau lebih suka menyertai Yazid dalam bermaksiat kepada Allah, niscaya Dia akan membiarkanmu dalam genggaman Yazid. Dan sadarilah wahai Ibnu Hubairah, tidak ada ketaatan bagi makhluk, siapapun dia, bila untuk bermaksiat kepada Allah.”

Umar bin Hubairah menangis hingga basah jenggotnya karena terkesan mendengarnya. Dia berpaling dari asy-Sya’bi kepada Hasan al-Basri, Umar semakin bertambah hormat dan memuliakannya. Setelah kedua ulama itu keluar dan menuju ke masjid, orang-orang pun datang berkerumun ingin mengetahui berita pertemuan mereka dengan amir Irak tersebut.

Asy-Sya’bi menemui mereka dan berkata; “Wahai kaum barangsiapa mampu mengutamakan Allah atas makhluk-Nya dalam segala keadaan dan masalah, maka lakukanlah. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, semua yang dikatakan Hasan al-Basri kepada Umar bin Hubairah juga aku ketahui. Tapi yang kusampaikan kepadanya adalah untuk wajahnya, sedangkan Hasan al-Basri menyampaikan kata-katanya demi mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka aku disingkirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Ibnu Hubairah, sedangkan Hasan al-Basri didekati dan dicintai…”

Allah memberikan karunia umur kepada Hasan al-Basri hingga berusia lebih dari 80 tahun dan telah memenuhi dunia ini dengan ilmu, hikmah dan fiqih. Warisan yang diunggulkannya bagi generasi kini di antaranya adalah kehalusan dan nasihat-nasihatnya yang mampu menyegarkan jiwa  dan mampu menyentuh hati, menjadi petunjuk bagi mereka yang lalai akan hakikat kehidupan dunia serta ihwal manusia dalam menyikapi dunia.

Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang dunia dan keadaannya. Beliau berkata, “Anda bertanya tentang dunia dan akhirat. Sesungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat, bila satu mendekat, maka yang lain akan menjauh.”

Dan Anda memintaku supaya menggambarkan tentang keadaan dunia ini. Maka aku katakan bahwa dunia diawali dengan kesulitan dan diakhiri dengan kebinasaan, yang halal akan dihisab dan yang haram akan berujung siksa. Yang kaya akan menghadapi ujian dan fitnah, sedang yang miskin selalu dalam kesusahan.”

Adapun jawaban terhadap pertanyaan orang lain tentang keadaannya dan keadaan orang lain dalam menyikapi dunia beliau berkata, “Duhai celaka, apa yang telah kita perbuat atas diri kita? Kita telah menelantarkan agama kita dan menggemukkan dunia kita, kita rusak akhlak kita dan kita perbaharui rumah, ranjang serta pakaian kita. Bertumpu pada tangan kiri, lalu memakan harta yang bukan haknya.

Makanannya hasil menipu, amalnya karena terpaksa, ingin yang manis setelah yang asam, ingin yang panas setelah yang dingin, ingin yang basah setelah yang kering, hingga manakala telah penuh perutnya ia berkata, “Wahai anakku, ambill obat pencerna.” Hai orang yang dungu, sesungguhnya yang kau cerna itu adalah agamamu.

Mana tetanggamu yang lapar?

Mana yatim-yatim kaummu yang lapar?

Mana orang miskin yang menantikan uluranmu?

Mana nasihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya?

Kalau saja engkau sadari hisabmu. Tiap kali terbenam matahari, berkuranglah satu hari usiamu dan lenyaplah sebagian yang ada padamu.”

Kamis malam di bulan Rajab 110 H, Hasan al-Basri pergi memenuhi panggilan Rabb-nya. Pagi harinya menjadi pagi duka cita bagi kota Bashrah.

Jenazahnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan setelah shalat Jumat di masjid Jami Basrah, masjid tempat di mana beliau menghabiskan banyak waktu hidupnya, belajar dan mengajar serta menyeru ke jalan Allah.

Orang-orang mengiringkan jenazahnya dan hari itu tak ada shalat ashar di Masjid Jami tersebut karena tak ada yang menegakkannya. Dan shalat jamaah ashar tidak pernah absen sejak dibangunnya masjid itu kecuali di hari itu. Hari di mana Hasan al-Basri berpulang ke haribaan Rabb-nya.

Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

Sumber: https://kisahmuslim.com/