Bagi seorang penuntut ilmu, terlebih lagi ilmu hadits, pastilah nama Imam Malik bin Anas rahîmahullâhu tidaklah asing terdengar. Beliau adalah salah seorang ulama yang memiliki jasa besar dalam perkembangan dan pembukuan hadits. Sebuah kitab yang fenomenal yang hingga sekarang kaum muslimin masih dapat mengambil faedah darinya adalah kitab “Al Muwaththa”. Kitab yang berisikan hadits – hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, perkataan (atsar) para sahabat, fatawa para tabi’in, beliau susun selama kurang lebih 40 tahun.
Kedudukan Al-Muwaththa’ di dalam ilmu hadis, tingkatnya di atas Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Bahkan Imam Asy-Syafi’i rahîmahullâhu berkata : “Kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an adalah Muwaththa’ Imam Malik.”
Melihat begitu tingginya kedudukan kitab ini, maka sangat penting bagi kita mengenal bagaimana latar belakang penulisnya. Diharapkan dengan mengenal beliau rahîmahullâhu menjadi jalan bagi kita ikut berperan serta dalam menjaga kemurnian syari’at agama ini.
Nasab dan Kelahiran Beliau
Imam Malik rahîmahullâhu dikenal sebagai Syaikhul Islam, Hujjatul Islam, Imam Dar al-Hijrah, memiliki kunyah Abu Abdillah, atau lengkapnya Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir -Nafi’- bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiyman, bin Khutsail, bin Amr bin Al-Harits – yang bergelar Bani Dzu Asbah – bin Auf bin Malik Al Ashbahiy Al Madaniy.
Beliau lahir di Kota Madinah pada tahun 93 H, kurang lebih 79 tahun setelah wafatnya Nabi kita Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya salah seorang sahabat Nabi yang paling panjang umurnya dibanding sahabat yang lain, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
Malik kecil tumbuh di lingkungan yang religius dan terpandang, ibunya adalah Âliah binti Syuraik binti Abdurrahman binti Syuraik Al Azdiyah. Beliau termasuk salah satu kabilah yang masyhur di kalangan bangsa Arab. Sedangkan ayahnya, bernama Anas bin Malik.
Namun yang dimaksud Anas bin Malik ini bukanlah Anas bin Malik sahabat nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam. Karena beliau Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berasal dari Bani Najjar suku Khazraj – asli Madinah. Sebagaimana disebutkan atas nama lengkap beliau, Anas bin Malik bin an-Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghunm bin Adi bin Najjar. Sedangkan Anas bin Malik ayah imam malik, Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghaiman.
Sehingga jika kita bisa bandingkan dua nasab ini:
[1] Anas bin Malik bin an-Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram
[2] Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghaiman
Jika Imam Malik rahîmahullâhu adalah anaknya sahabat Anas bin Malik, seharusnya kakeknya Imam Malik adalah Malik bin an-Nadhr bin Dhamdham. Tapi kakeknya Imam Malik adalah Malik bin Abu Amir bin Amr. Sehingga dapat kita ketahui bahwa keduanya tidak memiliki hubungan nasab.
Disamping itu, Imam Malik bin Anas rahîmahullâhu masuk di generasi tabi’ tabi’in. Sehingga beliau tidak bertemu sahabat. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu termasuk salah satu sahabat yang menjadi pembantu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjadi pelayan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena dihadiahkan oleh ibunya, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha.
Kakek beliau rahîmahullâhu adalah Malik bin Abi Amir, beliau adalah termasuk kibaru tabi’in dan salah satu diantara ulamanya tabi’in. Beliau meriwayatkan hadits dari Umar, Utsman, Thalhah Ubaidillah, Aisyah Ummul Mu’Minin, Abu Hurairah, Hisan Bin Tsabit, ‘Aqil Bin Abi Tholib.
Kakek buyutnya bernama Abu Amir Nafi’, adalah sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Beliau radliyallahu ‘anhu mengikuti berbagai peperangan bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wassalam kecuali perang Badr. Sebagaimana disebutkan Imam Syuyuti dalam muqodimah Syarh Al Muwaththa’[1]
Imam Malik rahîmahullâhu memiliki 3 paman, berarti 4 bersaudara berserta ayahnya. Anas bin Malik adalah yang tertua diantara ketiganya. Abu suhail Nafi’ bin Malikb Al madaniy, adalah paman pertama. Beliau meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu. Paman yang kedua dan ketiga adalah Uwais bin Malik dan Rabi’ bin Malik. Rabi’ bin Malik meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Bilal.
Berbicara masalah anak-anak, Imam Malik memiliki 4 orang anak, yakni : Yahya, Muhammad, Hammad dan Fathimah.
Sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh Beliau
Imam Malik rahîmahullâhu adalah orang yang dikaruniakan fisik yang istimewa. Bukan hanya berwajah rupawan akan tetapi memiliki perawakan yang gagah menawan. Sebagaimana dinukil dari Mush’Ab ibnu Zubairiy, beliau mengatakan, “ Malik adalah seorang yang berparas rupawan, bermata bagus, kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Begitu juga kata Abu ‘Ashim, “Aku tidak pernah melihat ahli hadits setampan Malik.”[2]
Awal mula perjalanan menuntut ilmu Beliau
Bapaknya peran penting dalam memotivasi Imam Malik agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Begitupun Ibunya yang juga terus memotivasi dan membimbing beliau rahîmahullâhu untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”
Guru-Guru Beliau
Di antara guru atau masyayikh dimana Imam Malik rahîmahullâhu mengambil faedah kepada mereka, adalah Abu Bakr Abdullah bin Yazid atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Hurmuz wafat pada tahun 138 H, Ibnu Syihab Az Zuhriy wafat tahun 123 H, beliau termasuk dari kibarul ’ulama Madinah pada zamannya, Nafi’ budaknya Abdullah bin Umar yang wafat pada tahun 120 H, silsilah riwayat hadits melalui jalan ini, disebutkan oleh para ‘ulama sebagai silsilah emas periwayatan hadits yang bersambung hingga Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wassalam, Na’imul Majmar, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair,Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, Ayyub Asy syikhtiyaniy dan lain-lain.
Murid-Murid Beliau
Telah lahir dari majelis ilmu Imam Malik rahîmahullâhu para imam ahli hadits, para imam ahlu fiqh dan hakim, baik di Makkah, Madinah, Magrib, Syam, ‘Iraq dan lain sebagainya, di antaranya adalah Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i , Abdullah Bin Maslamah Atau Yang Lebih Dikenal Sebagai Ibnu Al Madiniy Al Abashriy, Abu Mush’Ab Ahmad Bin Abu Bakr Bin Qashim Bin Harist Az Zuhriy, Mush’Ab Bin Abdullah Azzubairiy, Abdullah Bin Wahb, Az-Zuhri dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj, Abdullah bin mubarak dan ratusan ulama-ulama lainnya yang tersebesar ke seluruh penjuru negri kaum muslimin, semoga Allah senantiasa merahmati mereka.[3]
Pujian Ulama Tentang Beliau
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan hadisnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadis dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan hadisnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata, “Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah.”
Imam as-Syafi’i berkata, “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi’in.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadis.”
Ayyub bin Suwaid berkata, “Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya.”
Ahmad bin Hanbal berkata, ” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah.”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i, “Apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”Aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu daripada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami (orang sekarang) menemui yang seperti Malik?”
Imam Abu Hanifah berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandai tentang sunnah Rasulullah dari Imam Malik.”
Abdurrahman bin Mahdi, ” Aku tidak pernah tahu seorang ulama Hijaz kecuali mereka menghormati Imam Malik, sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad, kecuali dalam petunjuk.”
Ibnu Atsir, “Cukuplah kemuliaan bagi asy-Syafi’i bahwa syaikhnya adalah Imam Malik, dan cukuplah kemuliaan bagi Malik bahwa di antara muridnya adalah asy-Syafi’i.”
Abdullah bin Mubarak berkata, “Tidak pernah aku melihat seorang penulis ilmu Rasulullah lebih berwibawa dari Malik, dan lebih besar penghormatannya terhadap hadis Rasulullah dari Malik, serta kikir terhadap agamanya dari Malik, jika dikatakan kepadaku pilihlah Imam bagi umat ini, maka aku akan pilih Malik.”
Laits bin Saad berkata, “Tidak ada orang yang lebih aku cintai di muka bumi ini dari Malik.”
Wafatnya Beliau
Imam Malik rahîmahullâhu wafat di Kota Madinah pada tahun 179 H di usia 85 tahun. Beliau dikuburkan di Baqi’, Madinah kota Nabi shallallâhu ‘alaihi wassalam. Semoga Allah merahmati Imam Malik dan menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan.[4]
____
Referensi
⤴ Syarh Al Muwaththa’, juz I, tahun 1985 M/ 1406 H, Muhammad Fuad Abdul Baqiy, Dar ihya At Turots, Beirut Libanon
⤴ Al Imam Saikhul Islam Malik Bin Anas, Imam Dar Al Hijrah, tahun 2017 M/1438 H, Syaikh Ahmad Bin Muhammad Bunwah, Syabkah al Alukah
⤴ Imam Malik Bin Anas Imam Dar Al Hijrah, cetakan ke 3 tahun 1998 M/ 1419 H, Syeikh Abdul Ghaniy Ad Daqr, Darul Qalam, Damasqus
⤴ Siyar A’lam an-Nubala’, juz VIII, cetakan kedua tahun 1982 M/1402 H, Al Imam, Syamsudin, Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz Dzahabiy, Muasasah Ar Risalah, Beirut Libanon
Sumber: https://wikimuslim.or.id/
Wibawa Imam Malik di Hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Foto: Makam Imam Malik di Madinah. [By redaktur Muhammad Hafiil]
Imam Malik yang merupakan pendiri Mazhab Maliki, pernah hidup sezaman dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid, khalifah kelima dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Imam Malik tinggal di Kota Madinah sementara Harun Ar-Rasyid tinggal di pusat pemerintahan di Baghdad.
Suatu ketika, Harun Ar-Rasyid melaksanakan ibadah haji di Kota Makkah. Setelah menunaikan ibadah haji, dia mengunjungi Kota Madinah untuk menemui Imam Malik yang telah terkenal dengan kealimannya. Syekh Abdul Aziz Asy-Syinawi, penulis buku Biografis Empat Imam Mazhab terbitan Beirut Publishing, menuliskan kisah pertemuan Imam Malik dan Harun Ar-Rasyid tersebut.
Pertemuannya dimulai ketika Harun Ar-Rasyid mengirimkan utusan kepada Imam Malik untuk memanggil Imam Malik guna mendengarkan ilmunya. Akan tetapi, Imam Malik berkata kepada utusan Harun Ar-Rasyid "Katakanlah kepada Amirul Mukminin, sesungguhnya orang yang mencari ilmu harus mendatangi ilmu itu, dan bukan ilmu yang mendatanginya."
Mendengar hal itu, Amirul Mukminin Khalifah Harun Ar-Rasyid mengalah dan mengunjungi Immam Malik di rumahnya. Namun, Harun Ar-Rasyid memerintahkan agar mengosongkan majelis dari orang-orang.
Akan tetapi, Imam Malik menolak kecuali jika orang-orang tetap berada pada posisinya semula. Beliau mengatakan, "Jika ilmu itu dihalangi dari manusia secara umum, maka tidak ada kebaikan padanya untuk orang yang khusus."
Imam Malik melihat posisi dirinya sebagai pengajar dan posisi Harun Ar-Rasyid sebagai murid. Beliau berpandangan, bahwa termasuk salah satu kerendahan bagi dirinya dan ilmunya jika ia mendatangi seorang murid dengan ilmunya.
Harun Ar-Rasyid menerimanya dengan penuh keridahaan, dan ia pun mendatangi Imam Malik.
Ketika Harun Ar-Rasyid hendak melanjutkan perjalanan, dia memberikan harta sebanyak 400 dinar kepada Imam Malik seraya berucap, "Wahai Abdu Abdillah ini adalah hadiah."
Imam Malik menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, saya tidak berhak mendapatkan sedekah dan tidak pula mendapatkan hadiah."
Harun Ar-Rasyid bertanya, "Mengapa engkau tidak mau menerima hadiah, sementara nabi saya menerima hadiah?"
Imam Malik menjawab, "Saya bukan nabi."
Sumber: https://www.ihram.co.id/