Type Here to Get Search Results !

 


MENGENAL LEBIH DEKAT IMAM SYAFI'I

Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).

Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Oleh karena itu terkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarga. Namun, kondisi ini tidak menjadikannya lemah dalam menghadapi kehidupan setelah Allah memberinya taufik untuk menempuh jalan yang benar. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammadshalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.

PERGI KE KOTA MAKKAH

Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.

Imam asy-Syafi’I rahimahullah menceritakan : “Aku hidup sebagai yatim di asuhan ibuku. Ibuku tidak mampu membayar seorang guru untuk mengajariku. Tetapi guruku ridha dan senang jika aku menjadi penggantinya. Maka setelah aku menamatkan al-Qur’an, aku hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadits atau masalah agama, sementara tempat tinggal kami terletak di jaan Bukit al-Khaif. Aku menulis (apa yang aku dapatkan) di atas tulang. Setelah banyak tulang-tulang (yang berisi tulisan itu) aku masukkan ke dalam sebuah bejana besar. (Manaqibusy Syafi’I, hlm. 54)

Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:

Menghafal banyak sya’ir arab.

Hafal Al-Qur’an di luar kepala pada usia tujuh tahun.

Hafal kitab Hadits Al Muwathta’ (dengan jumlah hadits 1720 hadits) Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun,

Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafii.

Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.

Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafii: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”

PERTEMUAN YANG MENGESANKAN

Dalam kitab Manaaqib asy-Syafi’iyah karya Imam al-Baehaqi rahimahullah disebutkan bahwa awal mulanya ia belajar sya’ir, sejarah dan peperangan bangsa arab, dan sastra arab. Itulah kenapa ia memilih hidup di tengah-tengah suku Hudzail di pedusunan. Suatu ketika Imam asy-Syafi’I pergi menaiki seekor binatang, ia pun membaca bait-bait sya’ir. Mendengar bacaan itu Mus’ab ibn Abdullah az-Zubair berkata, “Orang sepertimu jika menjadi penyair akan hilang perangainya sebagai manusia, kecuali engkau belajar fiqh.” Dari kejadian tersebut tergugahlah hati Imam As-Syafi’I untuk mendalami fiqh. Setelah itu, ia pun mendatangi Muslim ibn Khalid az-Zanjirahimahullah, seorang mufti Makkah, dan berguru kepadanya. (Manaaqib asy-Syafi’iyah,hal. 1/96). Diriwayat lain dari Abu Bakar al Humaidi dalam kitab yang sama justru Muslim ibn Khalid az-Zanjilah yang menyuruhnya untuk mendalami fiqh.


BERTEMU IMAM MALIK BIN ANAS

Terkadang seorang guru memiliki firasat yang sangat kuat terhadap muridnya. Hal ini lahir dari ketaqwaan dan ketinggian imannya. Kejadian yang sama ketika Imam asy-Syafi’I menemui gurunya di Madinah, yaitu Imam Malik ibn Anas. Nasihat yang pertama ia wasiatkan kepada Imam asy-Syafi’I yaitu hendaknya engkau bertaqwa kepada Allah dan tinggalkanlah maksiat, maka engkau akan menjadi orang besar. Di lain kesempatan Imam Malik menasihati Imam asy-Syafi’I, Sesungguhnya Allah telah menerangi hatimu dengan cahayanya maka janganlah engkau padamkan dengan kemaksiatan.

Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).

Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafii yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

IMAM SYAFI’I PERGI KE YAMAN

Sekembalinya dari Madinah ke Mekkah, Imam asy-Syafi’I sibuk dengan ilmunya. Sementara itu jiwanya sangat gandrung terhadap ilmu sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab karena miskin. Begitulah sifat dan para ulama dianugrahi kelezatan dalam menuntut ilmu.

Jiwa Imam asy-Syafii sangat haus dengan ilmu, sehingga ia berencana untuk pergi ke Yaman untuk belajar kepada para Ulama seperti, Ibnu Juraij yaitu Hisyam bin Yusuf dan Mutharrif Mazin. Ibnu Juraij sendiri mengambil ilmu dari Imam Atha bin Abi Rabah.

Sesampainya di Yaman Imam asy-Syafi’I diberikan pekerjaan untuk menghidupi kebutuhannya selama belajar. Imam asy-Syafi’I mengatakan “Ketika pekerjaanku bagus, pekerjaanku ditambah”. Ketika orang-orang Makkah yang ada di Yaman pulang ke Makkah, maka nama Imam Asy-Syafii menjadi buah bibir di Makkah. Lalu imam asy-Syafii kembali pulang ke Makkah

KEMBALI KE MAKKAH

            Ketika Imam Syaf’I kembali ke Makkah, ia langsung menemui gurunya yang bernama Ibnu Abi Yahya rahimahullah ketika bertemu dengannya beliau mencela Imam asy-Syafi’I dan berkata “Engkau belajar kepadaku, tetapi kemudian engkau bekerja ? Ingat ! Apabila sesuatu telah memasuki dunia seseorang, dia akan betah tinggal di sana. Mendengan ucapan itu Imam asy-Syafi’I pamit.

Kemudia menemui gurunya yang lain yang bernama Sufyan binUyainah. Imam asy-Syafii menuturkan, “Kemudian aku mengucapkan salam, ia menyambutku lalu berkata, “Informasi tentang dirimu telah aku dengar. Engkau dikenal orang banyak, apa yang engkau perbuat karena Allah akan kembali kepadamu. Sebaliknya engkau jangan berlebihan. Imam asy-Syafii berkata : “Nasihat Sufyan ibnu Uyainah ini lebih menggugah hatiku daripada nasihat Ibnu Abi Yahya.


IMAM ASY-SYAFI’I KE IRAQ

            Imam asy-Syafi’I mendapati berbagaimacam ujian dan cobaan terutama tuduhan Alawiyyin. Setelah itu beliau pergi menuju Iraq dan berguru kepada Imam Muhammad bin al-Hasanrahimahullah beliau adalah salah satu murid Abu Hanifah rahimahullah. Imam asy-Syafi’I belajar secara intensif mengenai ilmu fiqh dan hadits yang diriwayatkan oleh ulama Irak. Imam asy-Syafi’I rahimahullah menulis buku lalu membacakan kembali kepadanya. Sampai-sampai imam Asy-Syafi’I bekrata : “Kesabarannya terhadapku seperti kesabaran unta, karena dengan sabar ia mau mendengarkan bacaanku.” (Manhaj Imam asy-Syafii fie Itsbatil Aqidah, hlm. 33).


KEMBALI KE MAKKAH

Setelah Imam asy-Syafii mendapatkan ilmu dari ulama Irak, maka ia kembali ke Makkah  dan mengajar di Masjid Haram sehingga namanya dikenal luas dikalangan penuntut ilmu. Ketika di musim Haji, kaum muslimin datang dari penjuru dunia. Mereka yang telah mengenal nama Imam Asy-Syafi’i tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk duduk langsung di majlisnya. Sehingga nama imam Asy-Syafi’I di kenal oleh para ulama penjuru dunia karena kealiman dan kecerdasannya.

Selama di Makkah itulah para ulama yang datang menemui dan berguru kepadanya diantaranya Ibnu Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih. Kajian Imamasy-Syafi’I selalu dipadati oleh para ulama dan penuntut ilmu, bahkan yang hadir di Majlisnya melebihi Majlis Gurunya yang bernama Sufyan ibn Uyainah.


PERGI KE IRAK YANG KE DUA

Pada tahun 195 H Imam asy-Syafi’I pergi kembali ke Iraq, jika kepergian pertama karena diusir, maka tujuan kepergian yang kedua ini karena kemauan sendiri. Untuk kepergian yang kedua ini namanya lebih dikenal sebelum kedatangannya. Karena Ulama Irak seperi Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq ibn Rahawai dan Abdurrahman al-Mahdi telah menyebut namanya. Sehingga sesampainya di Iraq ia mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat.  Para penuntut ilmu meninggalkan masjid-masjidnya dan beralih ke majlis Imam asy-Syafi’i. Disinilah dikenal denganMadzhab al-Qodiim.

Hasan bin Muhammad az-Za’farani rahimahullahberkata : “Kelompok Ashhabul Hadits (ulama yang benyak menggunakan hadits) tertidur cukup lama. Maka datanglah Imam asy-Syafi’I membangunkan mereka.

Iya. Iraq waktu itu di dominasi oleh murid-murid Abu Hanifah yang lebih condong kepada Ra’yu dibandingkan hadits. Namun kedatangan Imam asy-Syafi’I memberikan angina sega kepada para penuntut ilmu yang rindu dengan sunnah Nabi.

Qutaibah bin Said berkata: “Asy-Syafii adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafii wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebidahan.”

Imam Asy-Syafii berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”


PERGI KE MESIR

Selama Imam asy-Syafi’I rahimahullah berada di Ibu Kota Kekhilafahan Bani Abbasiyyah. Imam asy-Syafi’I mendapat berbagai macam ilmu dan pengalaman. Keberadaan beliau di Iraq memiliki dampak yang sangat besar, namun di sisi lain Ilmu Kalam pun berkembang pesat dan masuk kepemerintahan Khalifah al-Ma’mun. Terdengar bahwa Khalifah mulai terjebak dengan pebahasan-pembahasan ilmu kalam, semantara Imam asy-Syafi’I sendiri adalah seorang ahli dalam bindang ilmu kalam dan tahu orang-orangnya. Diantara bahayanya ilmu kalam saat itu yaitu halalnya darah para Ulama. Dan fitnah paling besar selain ilmu kalam adalah pemahaman Mu’tazilah yang beranggapan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

Oleh sebab itulah Imam Asy-Syafi’I memutuskan untuk pergi menuju Mesir. Walaupun sebenarnya hati kecil imam asy-Syafi’I menolak. Sesampainya di Mesir ia pergi ke Masjid Amr bub al-Ash. Kemudian untuk pertama kalinya ia menyampaikan ilmu dan serta-merta orang-orang Mesir menggandrunginya. (Manaqibul Baihaqi, II/284).

Di sanalah ilmu dan keluasan pandangan Imam asy-Syafi’I terliha. Hal itu ia dapatkan dari pengembaraannya, dan ia telah mengambil banyak pelajaran dari pengembaraan itu. Ia telaah kitab-kitab yang ditulisnya lalu ia perbaiki kesalahannya. Dia banyak melarat pendapatnya dengan mengemukakan pendapat-pendapat yang baru atau di sebut dengan Madzhab al-Jadid.


IMAM ASY-SYAFI'I WAFAT

Di akhir hayatnya Imam asy-Syafii sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang kitab di Mesir. Sehingga hal itu berakibat buruk kepada tubuhnya. Akibatnya ia terkena penyakit Wasir yang menyebabkan kelurnya darah. Tetapi karena kecintaanya terhadap Ilmu, Imam asy-Syafi’I tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak mempedulikan kesehatannya.

Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”


PUJIAN PARA ULAMA

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafii adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafii adalah yang paling besar ittibanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”

Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafii satu ucapanpun yang salah.”

Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafii, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafii adalah yang paling faqih di antara mereka.”

Disusun oleh Abu Rufaydah

Sumber: https://cianjurkotasantri.com/

Tags